Pages

Sabtu, 07 Agustus 2010

Menuntun dirimu hingga berangsur dewasa


Saya bukan ahli dalam memelihara bunga dan tanaman, selain itu juga tidak memiliki waktu banyak untuk merawat. Oleh sebab itu saya hanya membeli satu, dua vas bunga yang mudah dirawat seperti Lidah Buaya dan Rumput Wangi sebagai penghias rumah agar nampak lebih hidup. Selain itu saya juga ingin membiarkan anak saya terlibat dan belajar memahami tanaman.

Kedua tanaman yang saya beli itu tidak boleh disiram terlalu banyak air, maka bila terkadang lalai, juga tidak akan menjadi masalah.

Setelah anak saya masuk SD, tugas menyiram tanaman saya serahkan padanya. Dia belajar dengan cepat, karena tidak lama kemudian, dia sudah bisa mengamati keadaan tanah pada tanaman – apakah sudah mengering, sehingga harus disiram lagi  ataukah masih basah tanahnya? Ia tidak perlu lagi menanyakan pada saya kapan harus menyiramnya.

Suatu hari di luar dugaan, tanpa menanyakan ke saya, anak saya telah berinisiatif memakai sisa air minumannya yang dingin untuk menyirami tanaman-tanaman itu. Tak pelak, saaat saya mengetahui daun rumput wangi telah jadi menguning. Saya lalu menunjukkan hal ini pada anak saya dan menjelaskan ini sebagai akibat dari air siraman yang ia pakai.

Saya juga menambahkan bahwa tanaman tidak sama seperti manusia yang harus minum air yang sudah direbus. Bila kita menyiram tanaman dengan air matang, maka tanaman itu malah akan mati karena kekurangan gizi. Sebab setelah air dididihkan, bukan saja semua bakteri jadi mati, mineral dan gizi yang diperlukan tanaman itu juga akan hilang.

“Oh, ternyata air yang berbeda punya efek berbeda pada tanaman!,” anak saya sangat heran. “Tentu saja”, saya menjawabnya sambil memegang kepalanya, “Air hujan adalah pupuk alami yang paling baik, dan air ledeng tanpa disinari matahari bisa melukai bunga, itulah mengapa ibu menaruh bejana itu agar terkena sinar matahari dan dapat kamu pergunakan.

Masih ada banyak hal 7 yang tidak kamu ketahui, jadi jangan merasa idemu itu bagus lantas tidak perlu menanyakan kepada orang tua.” Dia mengangguk-anggukkan kepala.

Suatu hari, saat melewati sebuah kios bunga, pemilik kios sedang giat menawarkan “kacang 7 warna” kepada orang yang lalu lalang di sana. Daunnya berbentuk seperti cabai. Dan diantara daunnya yang berwarna hijau, rata tersebar buah-buah kecil sebesar kacang tanah yang berwarna-warni : hijau, kuning, merah, ungu dan lainnya.

Satu buah, milai dari tumbuh hingga layu, warnanya akan mengalami berbagai macam perubahan, sangat menarik sekali! Saya pikir anak saya tentu akan senang memilikinya, maka saya membeli satu vas. Si penjual masih menghadiahkan lagi satu vas kecil.

Sesampainya di rumah, saya katakana pada anak saya, “Kamu sudah tahu bagaimana menyiram, maka mulai saat ini kamu adalah tuan kecil bagi dua batang “kacang 7 warna” ini, nyawa mereka berada di tanganmu.

Jangan mengira mereka tidak bisa bicara lalu tidak merawatnya dengan baik. Mereka sepenuhnya mengerti perlakuan dan perhatian kita. Bila kamu memperhatikan , dan memuji mereka, maka mereka akan tumbuh dengan baik.”

Sejak awal anak saya sudah tahu bahwa tanaman dapat menegrti musik, dia juga percaya tanaman itu mengerti kata-katanya. Dengan jenaka ia berkata, “Jangan kawatir Bu! Saya pasti bisa menjaga mereka dengan baik.”

Anak saya menyiramnya dengan teliti, seringkali melapor dengan gembira, “Tumbuh lagi satu buah” “Lihat, dia berubah menjadi merah.” Atau “Lihat, betapa bagusnya saya menjaga mereka”

Dalam sekejab, musim panas pun berlalu, musim gugur mulai mendatang. “Kacang 7 warna” terlihat mulai kehilangan cahaya remajanya yang indah. Daun hijau tua kasar berguguran, buah kecilnya pun tidak banyak tersisa, terutama pada “Kacang 7 warna” yang kecil. Disela-sela ranting dan daunnya seperti terselubung oleh debu.

Tadinya saya mengira ini semua memang gelagat tanaman itu saat memasuki musim gugur, jadi saya biarkan saja. Kemudian anak saya menemukan banyak ulat-ulat kecil pada tanaman “Kacang 7 warna” yang kecil. Saat saya semprot dengan air, daun menjadi lebih segar, tetapi tidak lama kemudian ulat-ulat itu datang lagi. Sungguh tak berdaya, maka tidak saya urus lagi. Tak lama kemudian “Kacang 7 warna” kecil itu pun layu dan mati.

Melihat saya membuang tanaman yang mati itu ke tong sampah, anak saya dengan sedih menyalahkan dirinya, “Belakangan ini, saya tidak merawatmu seperti dulu, masih mengatakan bahwa kamu tidak sebagus tanaman yang satunya …”

Saya juga merasa malu atas keteledoran ini, hanya bisa menghibur anak saya untuk merawat lebih baik tanaman yang satunya lagi.

Tak disangka, “Kacang 7 warna” yang besar juga mulai dijangkiti ulat kecil, daun-daun yang banyak ulatnya mulai layu.

Sampai di sini saya baru merasa pasti bahwa ulat-ulat itulah pembunuhnya. Maka saya pergi ke pasar bunga untuk mencari informasi. Dengan mudah akhirnya sayadapatkan obat yang khusus menghilangkan ulat jenis laba laba merah ini.

Setelah kembali ke rumah, saya aduk menurut perbandingan takaran yang ada. Obat lalu saya semprotkan ke tanaman itu selama beberapa hari, akhirnya penyakit ulat pada tanaman bisa teratasi. Di akhir musim dingin, walau dahan dan daunnya sempat menjadi layu, tetapi tanaman itu tetap bisa melewati musim dingin.

Saat musim semi datang, tanaman itu menampakkan kembali cahaya kehidupan. Bunga-bunga putih kecil, sekuntum demi sekuntum tumbuh diantara daun yang hijau. Satu demi satu buah-buah kecil tumbuh susul menyususl, lalu berangsur tumbuh menjadi besar dan warnanya selalu silih berganti. Di samping itu, di akarnya telah tumbuh tunas yang baru.

Anak saya dapat merasakan perubahan dari “Kacang 7 warna”, ia telah mempelajari perubahan kehidupan pada setiap musim; dengan wajar telah memupuk ketelitian hatinya dalam mengamati dan merawat. Dengan bangga ia sering berkata, “kacang 7 warna” milikku …”

Dan saya sering berkata kepadanya, “Kamu adalah “Kacang 7 warna”. Ibu adalah kacang kecil yang lucu!. Mendengar ini, dia sangat gembira, raut wajahnya berseri-seri, dari dalam matanya terpancar rasa terima kasih yang sangat dalam.

Suatu hari, dia berkata bahwa bunga didalam kelasnya juga terjangkit ulat jenis laba laba merah hingga bunga itu menjadi layu. Tiada seorang pun yang tahu apa yang harus diperbuat. Ketika guru menanyakan orang tua murid siapa yang bisa menyembuhkan bunga itu, dengan suka rela anak saya lalu menyatakan kesediaannya.

Dia bertanya pada saya, pakah di rumah masih ada obat yang bisa menyembuhkan penyakit laba-laba merah. Saya katakan bahwa sudah habis terpakai. Melihat wajahnya yang penuh kekecewaan, saya tersenyum dan berkata, “Ibu akan pergi membeli dan kamu nanti bisa membawakannya untuk gurumu.”

Mendengar kata-kataku ini, matanya segera bersinar, dalam posisi duduk sekujur tubuhnya juga menampakkan reaksi kegembiraan , merasa yakin dan bangga akan usahanya. Akhirnya obat yang dia bawa itu benar-benar telah menyembuhkan bunga yang ada di kelasnya itu.

Orang-orang sering mengatakan “Anak adalah sekuntum bunga.” Maka biarkanlah ia juga bisa menjadi seorang tukang kebun untuk sementara waktu. Bimbinglah ia agar bisa menjadi tukang kebun yang berhasil. Seiring dengan ketekunanya, ia bukan saja akan menjadi tukang kebun yang handal, tetapi yang lebih penting lagi hal ini akan menambah pengetahuan dan wawasannya.

Terutama tentang hakekat kehidupan, bahwa setiap kehidupan pasti akan mengalami perputaran hidup, mulai dari lahir, tua, sakit dan mati. Hal ini akan menumbuhkan rasa kasihnya terhadap setiap makhluk; juga dapat membuatnya memahami pentingnya melakukan kewajiban dan tanggung jawab serta mempunyai rasa syukur dan terima kasih.

Bukan hanya itu, Sakyamuni yang bijak pernah berkata,”Sekuntum bunga, sehelai daun, semuanya adalah dunia.” Untuk itu, mungkin saja ia juga akan mendapatkan berkah dan kearifan yang berlimpah dalam hidupnya!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...