Pages

Jumat, 27 Agustus 2010

Menolak menjadi korban nasib dengan bentukan keyakinan


Barangkali Anda pernah mempunyai dua orang teman yang mereka adalah bersaudara, diasuh oleh orang yang sama dengan pola yang sama, namun memiliki nasib yg berbeda. Saya mempercayai bahwa bagaimanapun kita ini merupakan bentukan dari masa lalu kita, yakni akibat kejadian baik maupun buruk yang kita alami.

Secara normal, kita menemui orang2 menjadi kriminal sebagai hasil dari pola didikan yang salah dari orang tua dan juga lingkungan pergaulan yang menjerumuskan.

Saya katakan secara normal karena kebanyakan orang cenderung ‘membiarkan dirinya’ dibentuk oleh pengalaman masa lalunya, ke arah yang baik ataupun buruk. Itulah kenapa masyarakat kita masih amat memperhatikan latar belakang keluarga dan lingkungan pergaulan seseorang, karena dari situlah kita membentuk prediksi awal tentang perilaku dan bahkan potensi sukses dari seseorang.

Apakah itu salah? Tidak juga. Cuman rasanya kok tidak sreg ya kalau kita memposisikan diri sebagai ‘korban’ bentukan lingkungan dan pergaulan. Kalau itu semua mengarahkan kita pada kebaikan dan potensi sukses yang lebih besar, makanya tidak masalah.

Namun bagaimana halnya bila kita inginkan yang terbaik dari diri kita, sementara kita ‘kebetulan’ dibesarkan di lingkungan keluarga yang berantakan dan terlanjur miliki lingkungan pergaulan yang salah?

Baik, saya tidak lantas mengatakan bahwa lingkungan keluarga dan pergaulan yang salah akan menjadikan kita kriminal. Kasus yang hendak saya angkat tidaklah harus se-ekstrim itu.

Yang banyak terjadi adalah kita dengan tanpa disadari telah menjadi orang yang kurang percaya diri, mudah berburuk sangka, suka mengumpat, impulsif tak karuan dalam berbelanja, tidak ragu untuk berbohong dan berbuat curang, tak berdaya untuk bangkit dari kegagalan, dst, yang ternyata semua mentalitas penghambat sukses itu adalah bentukan dari lingkungan pergaulan dan cara kita dididik semasa kecil.

Bob Sutton, penulis buku The No Asshole Rule menjawab pertanyaan “Are assholes born or made?” dengan:

“I am sure that there are some people who are genetically pre-disposed to be nasty and there are some people who — perhaps as a result of emotional and/ or physical abuse during childhood turn into assholes. But there is also strong evidence that, no matter what our “personality” is, we all can turn into assholes under the wrong conditions.”

Pertanyaannya: jika kita sudah kadung dibesarkan di lingkungan yang kurang kondusif untuk sukses, apa yang bisa kita lakukan utk mengentas dan mencerahkan diri kita ini?

Oprah Winfrey, salah seorang dari 100 orang paling berpengaruh di abad 20, memiliki masa kecil yang miskin dan penuh dengan ketidakberuntungan, mulai dari pemerkosaan oleh sepupu di usia sembilan tahun hingga seterusnya berkali-kali mendapatkan pelecehan seksual oleh teman keluarga dan paman.

Ketika itu yang dia terus jalani dan tidak tahu alternatif yang lain, maka dia pun berkeyakinan bahwa yang namanya hidup itu ya seperti itu; wajar, “This is the way life is.”

Namun dia akhirnya menyadari bahwa yang membentuk kita ini sebenarnya bukanlah kejadian atau pengalaman yg kita alami, melainkan bagaimana cara pandang dan keyakinan diri yg terbentuk terkait dengan itu semua.

Atas semua pengalaman yang kita alami, Oprah mengatakan, “not only do you have the right to do whatever you want, you have the right to change your mind.” Dan dia baru menyadari itu di usianya ke-37.

It doesn’t matter who you are, where you come from. The ability to triumph begins with you. Always.

Bagi kebanyakan perempuan, usia 70-an adalah saatnya bersiap untuk tutup usia. Namun bagi Hulda Crooks, itu adalah usia yg tepat untuk melakukan hal-hal yg bakal dia sesali ketika dia tidak melakukannya.

Sehingga dia pun memasang standar yang tinggi untuk dirinya. Dia pikir mendaki gunung tampaknya akan jadi aktivitas yg menarik bagi orang seusia dia. Hingga di usianya ke 95 tahun, dia terus melakukan penjelajahan dan pendakian gunung. Sampai sekarang dia masih tercatat sebagai wanita tertua yang mendaki Gunung Fuji.

Kondisi sekeliling kita memang memprovokasi diri ini untuk membentuk keyakinan tertentu. Namun sesungguhnya kita bisa memilih terkait keyakinan dan cara pandang semacam apa yang hendak kita bentuk dari pengalaman dan lingkungan yang kita punya.

Cara pandang dan keyakinan adalah pembeda antara hidup yang penuh guna dan bahagia dan hidup yang merana dan tak punya makna. Keyakinan pada gilirannya akan menjadi pembeda pada ragam tindakan dan ekspektasi seseorang.

Seluruh agama samawi selalu didasarkan pada keyakinan awal tentang adanya Tuhan Allah yang Esa dan keberadaan kehidupan surga neraka akhirat yang kekal. Dan sesungguhnya keyakinan yang benar tentang ini saja sudah cukup untuk membuat seseorang berhati-hati dengan segala tindak tanduknya selama di dunia dan untuk tidak mengumbar segala kesenangan selama di dunia.

Bagi mereka yg patuh pada Tuhan, dunia ini bagaikan penjara krn beragam jalan kesenangan dibatasi. Namun jangan salah, tidak lantas dia jadi sengsara. Keyakinan bahwa segala sesuatu ada balasan, dan bahwa kampung akhirat itu jauuh lebih baik ketimbang metropolitan dunia membuat seseorang yang taat pada Tuhan memiliki kemantapan hati dan kebahagiaan dalam dirinya.

Bagaimana tidak, dia tau bahwa kemampuan menunda kesenangan akan dibalas dengan apa2 yang bahkan lebih baik dari imajinasi terliar dia tentang apa itu kesenangan. Tidak hanya itu, dia pun menemukan dan merasakan bahwa menjalani takwa ternyata mendatangkan kebahagiaan, bahwa mencintai Tuhan dan beribadah kepada-Nya ternyata mendatangkan kenikmatan yang tak terbeli dalam hati.

Awalnya adalah keyakinan.

Keyakinan dan cara pandang tidak hanya bisa mempengaruhi emosi dan tindakan, namun bahkan juga tubuh kita. Dr. Bernie Siegel dari Yale University menemukan bahwa jenis keyakinan seseorang bisa membuat perbedaan sampai pada tingkatan biokimia dan sistem syaraf. Penyakit semacam diabetes dan darah tinggi juga ternyata juga dipengaruhi oleh jenis keyakinan yang mengarah pada perilaku yang dimanifestasikannya.

Anda mungkin juga sudah mengenal Placeboo Effect dari obat-obatan; bahwa ternyata keyakinan pasien terhadap obat (dan dokternya) ternyata bisa memberi efek lebih kuat dari obatnya itu sendiri. Keyakinan ternyata memiliki kemampuan untuk membuat kita sakit ataupun sehat dengan cepat.

Drugs are not always necessary, but belief in recovery always is.

keyakinan cara pandang sukses pebasket cilik

Manusia memang bukanlah makhluk yang acak; segala tindakannya didasarkan atas bentuk cara pandang dan keyakinannya. Sayangnya, banyak yang kemudian tidak terpikir untuk mengubah keyakinan penghambat sukses yang dimiliki. Dan bahkan sejak awal, seseorang bisa jadi tak menyadari bagaimana keyakinan penghambat sukses itu bisa terbentuk, saking otomatis dan terjadi begitu saja.

Baik, sekarang, keyakinan itu sebenarnya apa sih?

Dia bukanlah benda, melainkan perasaan yang memuat kepastian tentang suatu hal. Jika Anda meyakini bahwa diri Anda berani mencoba dan berani gagal, maka itu artinya sama saja Anda berkata, “Aku punya perasaan yakin yang kuat bahwa aku berani coba dan berani gagal.”

Keyakinan semacam ini pada gilirannya akan menggiring seseorang untuk mengakses segala sumberdaya yang dimiliki untuk meraih hasil produktif. Hal yang sama berlaku untuk keyakinan sebaliknya. Perasaan yakin yang kuat pada sesuatu ini mengarahkan kita untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...