Pages

Rabu, 18 Agustus 2010

Senyuman Melampaui Ruang Waktu


Saya di asuh Kakek dan Nenek sejak lahir hingga usia 6 tahun, setelah itu saya diasuh Ayah dan Ibu di Kota Kun Ming, China. Saat berusia 11 tahun saya mendapat kabar bahwa Kakek dan Nenek meninggal dunia dalam kurun waktu satu tahun.

Saya menangis, air mata mengalir tiada hentinya. Saat itu saya baru menyadari bahwa sudah tak ada lagi orang yang paling menyayangiku. Kesedihan yang teramat mendalam membuat Ibu menegurku. Memang benar, ditinggal pergi orang tua merupakan pukulan yang sangat berat bagi Ibu, tentu Ibu lebih sedih.

Seperti diriku, Ibu tahu bahwa orang yang paling mencintainya telah tiada. Di dalam kesedihannya terkandung banyak ketidak berdayaan dan keluhan. Usianya menginjak setengah baya, tekanan dalam pekerjaan sangat besar, beban dalam keluarga juga semakin besar, kesehatan tubuhnya juga sangat tidak baik, lebih-lebih Ibu merasa Ayah tak bisa memahami dirinya.

Wajah Ibu mirip dengan Nenek, mereka pernah menjadi tenar di kampung halaman sebagai perempuan yang memiliki kesempurnaan baik dalam penampilan maupun kepandaian. Walaupun sama-sama berhasil dalam pelajaran, tetapi yang mereka pelajari sama sekali berbeda.

Nenek menerima pendidikan tradisional, dia mahir dalam hal kaligrafi, melukis, juga pandai memetik kecapi dan masih mempunyai keahlian menyulam. Setelah meninggal sepuluh tahun kemudian, beberapa karya lukisan dan tulisan kaligrafinya, dipamerkan oleh pusat kebudayaan kabupaten.

Karya sulaman beliau, jika dibicarakan oleh generasi tua pasti akan memujinya. Sayang sekali dua koper karya lukisan, sulaman serta kaligrafi Nenek, telah terbakar habis pada saat Revolusi Kebudayaan. Karya sulamannya bahkan tidak tersisa sama sekali.

Ibu saya adalah anak bungsu yang lahir saat nenek berusia 40 tahun. Saat Ibu menerima pendidikan, bertepatan dengan peralihan kekuasaan Partai Komunis China, sistem pendidikan baru mulai diterapkan. Pendidikan yang diterima Ibu sama sekali berbeda dengan yang diterima nenek, tidak lagi mengajarkan kesenian tradisional yang mengutamakan kelembutan dan keindah-an, tetapi mengutamakan politik, kimia, matematika dan fisika.

Semasa SMU, Ibu menjadi juara umum di sekolah dan masuk universitas ternama. Saat itu Ibu menjadi putri kebanggaan keluarga.

Tetapi meski Ibu mendapatkan kemujuran luar biasa, karena terlahir dalam keluarga tuan tanah tradisional, maka dia harus tak henti-hentinya melakukan otokritik tentang jejak lahir yang melekat pada dirinya, setiap saat siap menerima pembentukan kembali.

Nenek berperangai ramah dan damai, nada bicaranya bagaikan aliran air yang lembut dan mantap. Dalam keseharian nenek selalu tersenyum, senantiasa menebarkan suasana kehangatan dan kemurahan hati dalam rumah. Kakek dan Nenek memperlakukan satu dan lainnya dengan penuh hormat seperti halnya terhadap orang lain.

Dalam ingatan saya, senyuman kasih Nenek adalah pemandangan yang paling indah, dan saya melihat ketika Kakek memandang Nenek selalu penuh dengan kehangatan.

Selama hidup Ibu selalu berada dalam keadaan tegang. Berbagai macam gerakan politik dan perubahan ideologi dalam beberapa puluh tahun ini, mulai dari permukaan hingga bagian jiwa yang paling dalam telah merubah dirinya.

Otokritik, ideologi pemikiran diri, menari tarian kesetiaan, menggunakan kekerasan, diasingkan dan lain-lain, berbagai macam gelombang gerakan politik membuat perilakunya berangsur-angsur kehilangan kelembutannya, meninggalkan bekas di paras cantiknya, suara merdunya berubah menjadi melengking, walaupun menyanyikan lagu curahan hati pun masih mengandung bunyi gemerincing palu dan arit (simbol komunis).

Yang paling celaka, Ibu membawa konsep-konsep seperti “sama rata antara pria dan perempuan”, “bertarung dengan orang lain, nikmatnya tiada batas” dan lain sebagainya dalam kehidupan rumah tangga. Ibu selamanya tidak akan memaafkan setiap kesalahan anggota keluarga.

Hidup Ibu penuh kesusahan, perasaan hatinya muram, jika bukan memarahi anak-anak, akan bertengkar dengan suami, tidak ada ketenangan dalam keluarga. Ketika saya dimarahi dengan tanpa suatu alasan apapun, senyuman Nenek akan muncul dalam mimpiku.

Hangat, serta tak henti-hentinya mengirimkan perhatian dan menghiburku. Nenek menenun kegelapan malam menjadi kain kasa yang ringan, selapis-demi selapis mengelilingiku, membelai lembut wajahku, menghibur hati yang sepi dan tanpa bantuan.

Ketika saya mengingatkan Ibu mengapa tidak seperti Nenek, Ibu terkejut. Sepasang matanya tampak ada kabut melintas, lalu berubah menjadi pandangan galak dan membela diri, “Ibumu lulusan S1 dan mempunyai pekerjaan. Setrampil-trampilnya Nenekmu, ia juga hanyalah seorang ibu rumah tangga, dia masih harus dihidupi oleh Kakekmu.” Saat Ibu berkata demikian, saya selalu bisa mendengar helaan napas getir Ayah.

Saya diam tak bersuara. Ibu selalu membanggakan diri sebagai perempuan moderen yang mandiri. Hal ini dijadikan modal untuk tawar-menawar dengan Ayah yang juga pandai dan berbakat. Mereka berebut untuk didengar dan berkuasa dalam keluarga selama beberapa tahun ini.

Pasangan yang sebenarnya sangat serasi ini, bertengkar selama 40 tahun lamanya hingga rambut mereka menjadi putih dan tak ada hasil akhirnya. Cinta kasih antara suami istri serta kehangatan dalam rumah tangga sirna tanpa bekas.

Ibu sebenarnya sangat mendambakan cinta kasih Ayah, dia seumur hidup mencintai Ayah dan dalam kehidupan Ayah tak ada perempuan lain, tetapi pada akhirnya Ibu tidak mendapatkan kehormatan dan cinta kasih Ayah. Sebenarnya Ibu sangat tidak bahagia.

Nenek mengenyam pendidikan dari buku-buku orang bijak, pendidikan kebudayaan tradisional, bukan hanya musik, catur china, buku dan kaligrafi, lebih-lebih adalah kebijakan menjadi orang. Hidup kesehariannya berbudi luhur, lemah lembut, menjaga keluarga dan mendidik anak, mempunyai daya ketenangan yang luar biasa ibarat “Gunung Tai Shan runtuh di depan mata pun, tetap akan bergeming”.

Di masa Revolusi Kebudayaan, Kakek digolongkan sebagai tuan tanah. Pada zaman itu “kadar keluarga” semacam itu merupakan model tipikal dari “alat kediktaktoran”, meski di mata masyarakat desa, kewibawaan Kakek dan Nenek sangat tinggi, tetapi akhirnya mereka juga tidak luput dari nasib malang. Beberapa kali menjadi sasaran kritik, rumah digeledah dan dihancurkan, dianiaya hingga merasakan mati lebih baik daripada tetap hidup.

Dalam bencana sebesar ini, perangai Nenek masih tetap hambar dan tenang, dengan sifatnya yang optimis dan terbuka, mengarahkan sekeluarga melewati satu demi satu kesulitan, tetapi setelah permasalahan berlalu dia tidak berbangga diri, juga tidak menuntut jasa kepada keluarga. Pengasuhan diri semacam ini bagaimana bisa tidak membuat kakek sangat menghormati Nenek?

Nenek sama sekali tidak pernah keluar rumah untuk mencari pekerjaan, tetapi dalam hati Kakek sangat memahami bahwa seumur hidup Nenek telah diserahkan kepada dirinya. Nenek sangat berbudi luhur dan penurut, dengan sendirinya Kakek akan menyayangi Nenek seumur hidupnya. Keras dan lembut saling mendukung seperti ini, Yin dan Yang akan menjadi serasi, benar-benar sebagai dasar kebahagiaan suami istri.

Sayang sekali Ibu tidak memiliki kecerdasan semacam ini, dalam hidupnya merasa tidak bisa menerima satu hal: dengan kecantikan dan keunggulan yang dia miliki, mengapa tidak mendapatkan kasih sayang dari suami? Hingga saat ini dia masih belum menemukan jawabannya.

Sangat disayangkan, Nenek tidak bisa menurunkan kecerdasan dan kebajikan yang dia miliki kepada Ibu. Hal ini dikarenakan ibu sudah meninggalkan rumah sejak masuk SMP, tinggal diasrama sekolah. Setelah lulus universitas, dia bekerja di Kun Ming, yang sangat jauh dari tempat tinggalnya, sehingga hampir tak ada kesempatan berada di samping nenek untuk mendapatkan “pendidikan keluarga”.

Alasan yang lain adalah bahan yang akan diajarkan Nenek kepada Ibu, kebetulan merupakan “pikiran feodal” yang dituduhkan pada saat itu, harus dikritik dan ditindas. Ibu sendiri juga tertekan dengan tuduhan sebagai “anak tuan tanah” hingga tak bisa mengangkat kepala, dia “membatasi diri” dari didikan semacam itu masih merasa terlambat, mana mungkin dia mau mendengarkan bimbingan dari nenek?

Pada saat itu, nenek sangat merindukan anak perempuannya, melihat tanda lengan merah di mana-mana, mendengarkan slogan yang memerangi langit dan mengganyang bumi, nenek pasti merasakan sakit hati yang menusuk tulang.

Api besar yang berkobar-kobar, caci maki terdengar di sekeliling, langit yang dimerahkan oleh kobaran api ada dimana-mana, senja merah bagaikan darah, dua koper indah yang berisikan karya sulaman, lukisan serta kaligrafi dituangkan keluar.

Percikan api pada karya seni itu segera menyembur memenuhi langit, sepertinya benda-benda itu mengerti akhir nasib mereka dan seakan ingin menunjukkan kecemerlangan mereka pada saat terakhir. Nenek menyaksikan sendiri hasil karya seumur hidupnya habis terbakar. Saya sulit memahami bagaimana perasaan Nenek saat itu.

“Nenekmu sangat tegar, dari awal hingga akhir dia berdiri dengan tegak,” kata adik Ibu yang menyaksikan kejadian itu. Hal apa yang bisa menopang ketegaran nenek? Jawabannya ada dalam senyum nenek yang mengabur, menjelma menjadi peri yang sangat cantik, terbang pergi mengikuti tiupan angin, menyampaikan sesuatu kepada saya. Suara helaan napas yang sayu datang dari tanah tumpah darah yang paling dalam, perlahan-lahan menggema di udara tertiup angin sepoi.

Tanah kuburan yang dingin, seonggok tanah kuning telah menutupi tubuh Nenek, dan wajahnya yang cantik. Tetapi sebenarnya nenek tidak pernah meninggalkan saya dan Ibu, semangat dan perangainya yang luar biasa, selalu berada dalam benakku, seperti benang sutera yang tidak tampak, mengaitkan masa lalu dan masa sekarang, melintas dan melampaui ruang waktu, menyampaikan informasi tentang kebaikan dan kasih sayang kepadaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...