Pages

Rabu, 11 Agustus 2010

Nilai Sebuah Janji


Apakah Anda pernah berjanji? Ada berapa janji Anda yang terealisasi? Apakah ada orang yang berjanji kepada Anda? Dan berapa banyak janji mereka yang terealisasi?

Saya pernah mengucapkan janji kepada pacar pertama saya, namun kebanyakan janji orang yang dilanda asmara tidak bisa terealisasi. Tetapi saya yakin, ketika mereka mengucapkannya pasti dengan ketulusan hati, hanya saja perjalanan hidup manusia tak dapat diprediksi, membuat janji itu terpaksa berlalu bagaikan angin lalu.

Namun apabila tak berjanji apapun karena takut tidak bisa terealisasi, maka seseorang akan kehilangan kesempatan menikmati indahnya masa berpacaran.

Bahkan ada yang meminta kekasihnya untuk mengumbar janji meski tak bisa direalisasikan, hanya untuk mendapatkan keindahan ini. Saya pernah tidak segan mengumbar janji kepada pihak lain, se-pertinya hanya dengan bertindak demikian baru bisa menyatakan ketulusan hati dan meluapkan perasaan.

Namun ketika semua telah berlalu dan melihat ke masa lalu, kita akan menemukan masa berpacaran itu tidak seindah apa yang kita bayangkan. Bukan hanya tak indah, janji-janji yang pernah kita lontarkan dengan mudah itu benar-benar seperti parut luka yang mengering. Dipikir tak berdaya, dihibur hanya bisa tersenyum pahit. Membuat saya memahami bahwa telah salah mengartikan suatu janji! 

Di dalam buku Yu Shi Ming Yuan yang ditulis Feng Meng Long (sastrawan China kuno), ada sebuah artikel yang menceritakan dua orang pelajar yang tinggal berjauhan. Mereka akan mengikuti ujian di ibukota dan selama perjalanan mereka menjadi kawan karib.

Saat itu pelajar yang berusia lebih tua kurang beruntung, dia terjangkit wabah. Tak seorang pun bersedia merawatnya. Setelah mengetahui hal tersebut, pelajar yang berusia lebih muda menunda mengikuti ujian daripada meninggalkan kawannya seorang diri.

Dia tidak takut tertular wabah tersebut. Selama beberapa bulan pelajar ini merawat   kawannya dengan penuh perhatian hingga sembuh. Merasa berhutang budi, pelajar yang berusia lebih tua ini mengangkatnya sebagai saudara dan berjanji akan bertemu di Hari Raya Zhong Yang pada tahun berikutnya. Sang kakak akan mengunjungi adik angkatnya.

Tak terasa waktu cepat berlalu, Hari Raya Zhong Yang sudah tiba. Sedari subuh sang adik angkat mulai membersihkan rumah dan menyiapkan hidangan untuk menyambut kedatangan sang kakak. Setelah segala sesuatunya beres, dia pergi ke gerbang desa untuk menyambut, tidak makan dan beristirahat hingga larut malam.

Sang ibu menghampirinya dan memberi nasihat bahwa mungkin perjalanan sulit dilalui atau disibukkan oleh sesuatu hal sehingga tidak bisa ditinggalkan. Sang adik angkat memohon kepada ibunya untuk tidak membahas masalah ini lagi, dan berkata jika kakak angkatnya tidak datang maka dia berjanji untuk tidak pulang.

Waktu sudah lewat pukul tiga dini hari, sinar rembulan mulai meredup. Seperti yang diduga, sang kakak yang dinanti   akhirnya tiba. Sang adik girang bukan kepalang langsung mempersilahkan kakaknya masuk ke rumah dan mengeluarkan hidangan untuk menjamu sang kakak. Namun kakak angkatnya itu sama sekali tak menyentuhnya.

Setelah di desak sang adik, dia baru berkata, “Kakakmu ini setelah kembali dari ujian setiap hari disibukkan dengan mencari nafkah, tidak merasa bahwa hari raya Zhong Yang akan tiba. Saat saya sadar, semuanya sudah terlambat, jarak terpaut seribu li (satuan ukuran China, = 0,5 km) tidak mungkin bisa ditempuh dalam satu hari. Jika tak bisa tepat waktu, adik angkatku akan menganggap apa?”

Tak bisa menemukan solusi terbaik, sang kakak pernah mendengar perkataan orang bahwa manusia tidak bisa menempuh perjalanan seribu li dalam satu hari, tetapi arwah manusia bisa.  Dia lalu berpesan kepada isterinya bahwa setelah meninggal jangan dimakamkan dulu, menunggu adik angkatnya datang baru boleh dimakamkan.Selesai berpesan dia bunuh diri. Arwahnya menunggang angin alam baka datang untuk menepati janji.  

Setelah mendengar cerita ini sang adik menangis tersedu-sedu. Keesokan harinya selesai menitipkan ibunya di rumah saudara, dia berpamitan untuk melayat pemakaman kakak angkatnya. Hingga tiba di rumah sang kakak, dia melihat istri kakak angkatnya berada di pinggir peti mati yang belum dimakamkan.

Lalu sang adik berkata kepadanya bahwa biaya pemakaman sudah dia persiapkan semuanya. Setelah dia meninggal tolong dimakamkan di samping kakak angkatnya, selesai berbicara dia juga bunuh diri.

Setelah saya membaca cerita ini, pada awalnya hanya merasakan tiga kata: tidak masuk akal! Merasa sangat lucu, masalah kecil terlalu dibesar-besarkan. Namun  seiring bertambahnya usia dan pengalaman, saya semakin bisa menilai maksud sebenarnya cerita tersebut.

Apa yang disebut “setelah lewat ratusan dan ribuan kali tetap tak berubah, harus merealisasi janji yang pernah diucapkan”.

Ternyata orang zaman dulu memandang janji itu sangat penting. Di hadapan sebuah perjanjian, nyawa bisa dinomor-duakan.

Dalam hidup ini ada sejumlah masalah yang sangat berat, yang memang harus seberat itu, justru karena berat barulah membuat hidup ini bermakna. Jika tidak bisa mengemban beban “seberat” itu, maka jangan sembarangan membuat janji, karena dapat menjadi suatu hal yang sangat tidak baik bagi orang lain dan diri sendiri!

Sebagai catatan, saat menulis ini, saya mendadak teringat teman baik yang pernah tinggal satu asrama. Dia terkenal dengan julukan “satu urat” (maksudnya lurus dan polos). Mengerjakan sesuatu sangat serius, menjunjung tinggi persahabatan, pacaran tak pernah mendua.

Tahun lalu dia menikah dengan pria idamannya setelah berpacaran selama 5 tahun, namun suaminya yang berparas biasa saja itu, membuat saya merasa sangat tak sebanding dengan teman saya yang cantiknya bagaikan salah satu bintang film Korea.

Suatu saat ketika bertemu dengannya, saya menanyakan apa yang membuatnya tertarik? Jawabnya, “Dia pernah mengatakan hal yang membuat saya sangat terharu, yakni ‘meski makanan yang tersisa hanya satu suapan, saya akan memberikannya padamu’. Janji ini telah membuat saya memilih menikah dengannya.”

“Terharu? Sama sekali tak masuk akal! Inikah yang dinamakan janji, sama sekali tak bisa dibuktikan, asal diucapkan di mulut saja,” kataku dengan rasa tak percaya.

“Sudah pernah dibuktikan. Beberapa hari yang lalu saya membawa pulang kol nenek yang digoreng pedas. Dia berebut denganku karena sama-sama suka makanan ini. Belum puas makan kol nenek sudah habis tuntas, dengan geram saya berkata kepadanya, bukankah kamu dulu pernah berjanji meski makanan tersisa hanya satu suapan, engkau akan memberikannya kepadaku?

Sekarang mengapa kamu berebut lebih seru dari siapa pun. Siapa sangka dia mengelak dengan berkata, ah kamu salah memahami arti perkataanku dulu, maksudnya adalah ketika makanan itu sudah tinggal suapan terakhir, baru saya berikan kepadamu.”

Ha..ha..ha.., saya tertawa terbahak-bahak hingga tidak bisa melanjutkan pembicaraan. Dengan pemahaman yang begitu lucu mengartikan sebuah janji. Tetapi untuk teman ini, saya benar-benar berlega hati, karena saya tahu dia sangat bahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...