Selasa, 10 Agustus 2010
Semangkuk mie daging sapi
Beberapa tahun lalu ketika saya masih kuliah, saat hari libur panjang saya selalu pergi ke depot kecil untuk membantu bibi menjual makanan. Ketika itu senja hari pada awal musim semi yang masih dingin, depot bibi saya kedatangan sepasang tamu yang sangat spesial - mereka adalah bapak dan anak.
Mengatakan mereka spesial karena sang bapak adalah seorang tuna netra. Si anak menuntunnya dengan sangat hati-hati. Pemuda itu kelihatannya berusia sekitar 18 - 19 tahun, berpakaian sangat sederhana sehingga nampak terlihat seperti seorang miskin, namun dirinya penuh ketenangan bagai seorang terdidik, seharusnya dia seorang siswa yang masih sekolah.
Pemuda itu menghampiri saya dan berkata dengan suara yang amat keras, “Dua mangkuk mie daging sapi.” Ketika saya sedang bersiap-siap menulis nota pemesanan, dia tiba-tiba memberi isyarat tangan kepada saya.
Dengan tercengang saya memandang ke arah dirinya, dia tertawa dengan penuh penyesalan, kemudian dengan jari tangan menunjuk ke arah papan daftar harga yang menempel di dinding belakangnya, isyarat tangannya itu berarti hanya memesan satu mangkuk saja mie daging sapi sedangkan yang satu mangkuk lagi hanya mie kuah biasa tanpa daging.
Tadinya saya dibuat bingung, kemudian tiba-tiba sadar akan apa yang terjadi. Ternyata anak laki-laki itu berkata dengan keras memesan dua mangkuk mie daging sapi hanya ingin didengarkan oleh bapaknya saja, dia bertindak demikian sebenarnya karena sedang kekurangan uang, dan tidak ingin membiarkan sang bapak mengetahuinya. Saya memahami maksudnya lalu tersenyum kepada pemuda itu.
Dengan cepat dapur telah menyajikan dua mangkuk mie panas yang masih mengepulkan asap. Pemuda itu memindahkan mie daging sapi ke hadapan ayahnya, dengan suara lembut dia berkata, “Ayah, mienya sudah datang, nikmatilah dengan perlahan, hati-hati masih panas.”
Dia sendiri mengangkat mie kuah biasa ke hadapannya. Si Ayah itu kelihatannya tidak terburu-buru menyantap mienya, dia hanya menggunakan sumpit untuk meraba-raba benda di dalam mangkuk mienya itu. Dengan berusaha keras dia dapat menyumpit daging sapi bergegas dia sodorkan dan berikan ke mangkuk anaknya, “Makanlah, kamu makan yang banyak, setelah kenyang baru dapat belajar dengan baik, sudah hampir tiba saatnya ujian perguruan tinggi, bisa menjadi seorang mahasiswa kelak menjadi orang berbakat yang bermanfaat bagi masyarakat.”
Ayah itu berkata dengan penuh kasih sayang, walaupun sepasang matanya tidak bercahaya karena buta, namun raut wajahnya yang berkeriput penuh dengan senyuman berarti yang lembut dan hangat. Yang membuat saya merasa heran, pemuda itu tidak mencegah ayahnya untuk melakukan hal itu (menyumpit daging sapi dan memberikan kepadanya).
Secara diam-diam pemuda itu mengembalikan daging sapi itu ke mangkuk ayahnya. Begitu terus berulang-ulang, daging sapi yang berada di dalam mangkuk mie ayahnya itu seakan-akan tidak pernah habis disumpit.
“Depot mie ini lumayan juga, daging sapi yang diberikan dalam mienya banyak sekali,” kata orang tua itu. Saya yang berada di samping mereka merasa sangat malu, karena daging sapi yang saya berikan itu hanya beberapa iris saja dan sangat tipis sekali.
Anak laki-laki itu menggunakan kesempatan ini segera menyambung perkataan: “Ayah, cepatlah makan mienya itu, mangkuk saya hampir tidak muat lagi jika terus menerus diberi daging sapi.”
“Baiklah, baiklah, kalau begitu cepatlah makan, mie daging sapi di sini sungguh murah sekali.”
Percakapan dan tingkah laku dari ayah dan anak itu membuat kami sekalian sangat terharu sekali. Tidak tahu mulai kapan bibi saya juga berdiri di samping saya, dengan diam-diam bibi memandang ke arah ayah dan anak ini.
Saat itu Chandra yang berada di dapur menggeluarkan sepiring daging sapi yang baru saja diiris. Bibi memberikan isyarat dengan mulut kepada Chandra untuk meletakan irisan daging sapi itu di atas meja pasangan ayah dan anak itu.
Pemuda itu mengangkat kepala melihat ke sekelilingnya, di mejanya itu tidak ada tamu yang lain, dia cepat-cepat mengatakan dengan lirih, “Anda tidak salah meletakkan? Kami tidak memesan daging sapi.”
Dengan wajah tersenyum bibi menghampiri meja itu, “Tidak salah, hari ini ulang tahun depot kami, sepiring daging sapi ini diberikan secara cuma-cuma.” Pemuda itu hanya tersenyum, tidak bertanya lebih lanjut lagi. Dia menyumpit beberapa iris daging sapi itu dan dimasukkan kedalam mangkuk mie ayahnya, kemudian sisa daging sapi yang masih ada dia masukkan ke dalam kantong plastik.
Kami diam-diam mengamati bapak anak ini menyantap habis mie mereka, lalu menghantar mereka keluar dari pintu depot dengan pandangan mata yang mengikuti mereka sampai menghilang.
Ketika Chandra membereskan mangkuk yang berada di atas meja, tiba-tiba dia berseru dengan lirih. Ternyata di bawah mangkuk yang dipakai pemuda tadi terdapat beberapa uang kertas yang nilainya persis sama dengan harga sepiring daging sapi iris yang berada dalam daftar harga.
Untuk sesaat saya, bibi dan juga Chandra tidak bisa berkata apa-apa, yang ada hanya helaan nafas yang bergema didalam hati setiap orang.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar