Jumat, 13 Agustus 2010
Membuat merasa dibutuhkan adalah semacam cinta
Di Bulan September, saya pindah kerja di sebuah perusahaan. Meja kerjanya disekat semua, jadi tidak bisa kelihatan satu sama lainnya. Tapi jika orang di sebelah sedang bicara di telepon akan terdengar sangat jelas.
Rekan sejawat yang duduk di sebelah kiri saya kelihatannya adalah seorang pria yang sangat ‘lengket’ dengan istrinya.
“Istriku, malam ini saya ingin makan daging kecap”, katanya suatu hari.
“Istriku, kemejaku yang warna abu-abu dengan motif kotak-kotak apa sudah disetrika? Besok baju itu akan aku pakai”, katanya lagi di lain kesempatan.
“Istriku, saya lagi pingin makan kue bawang buatanmu”, katanya di kesempatan yg lain lagi.
Suara yang sengaja direndahkan, tanpa diduga justru menjadi sangat lembah lembut. Diam-diam saya tertawa dalam hati, pria tersebut sedang bermanja-manja dengan istrinya. Jika seorang pria berkelakuan seperti seorang anak kecil yang minta dimanjakan, wanita dipastikan akan mengangkat kedua tangannya tanda menyerah.
Tak dapat dihindari, secara diam-diam saya mulai memperhatikannya. Dia adalah seorang pria paruh baya yang sangat biasa. Walaupun dalam karirnya tidak ada sesuatu prestasi yang menonjol, namun kehidupan dalam keluarganya bisa dipastikan dikelolanya dengan sangat sukses. Istrinya pastilah seorang wanita yang bertipe keibuan.
Dia sangat rajin menelepon istrinya, pembicaraannya selalu sambung menyambung dan tak pernah terputus, dan pada akhir kalimat ia selalu mengajukan permintaan, yang meminta istrinya untuk mengerjakan ini dan itu.
Sungguh-sungguh seperti seorang pria yang sangat dimanjakan. Pada saat jam kerja, tiba-tiba terpikirkan olehnya untuk segera mengangkat telepon dan menelepon istrinya. Jika dilihat dari mimik wajahnya selagi menelepon, bisa dilihat bahwa selama ini istrinya tidak pernah menolak terhadap apa pun permintaannya yang sangat rinci, sebaliknya justru dilakukannya dengan senang hati.
Setelah akrab, saya menertawainya, “Bapak sungguh keren, telah mempersunting seorang istri yang berbudi luhur.” Dia ikut tertawa, “Benar, benar…” Suatu hari minggu, saya ke rumah sakit untuk mengambil obat karena saya sakit tenggorokan. Di luar dugaan saya telah bertemu dengan pria itu dan istrinya.
Ternyata istrinya bukanlah tipe seorang wanita cerdik dan cekatan seperti yang selama ini saya bayangkan.
Sebaliknya dia adalah seorang yang kurus lemah, lesu bagai pesakitan. Setelah menyapa dengan sopan, ia memapah istrinya dengan sangat hati-hati lalu berjalan pergi.
Dokter yang melayani saya mengenal mereka, dokter tersebut pun berkata, “Istrinya telah mengi-dap kanker selama dua tahun, waktu mereka mendapati kenyataan ini kanker tersebut sudah sampai pada tahap akhir, sisa waktu hidupnya hanya tinggal 1/2 tahun saja.
Untung tekadnya untuk bertahan hidup sangat kuat. Di luar dugaan istrinya berhasil bertahan melewati dua tahun, tapi tubuhnya kian hari kian parah, tidak tahu ia masih dapat bertahan berapa lama lagi.” Dokter menghela nafas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepala, hati saya terbenam.
Sejak saat itu, jika mendengar beliau menelepon, di dalam hati saya ada semacam amarah yang sulit untuk dibendung. Pria ini sungguh keterlaluan, istrinya sudah sakit sedemikian parah, dia masih setiap hari memerintah istrinya untuk bekerja, apakah hati pria ini sedemikian kasarnya, atau memang keras seperti batu?
Dengan pena merah ia membuat bulatan pada suatu tanggal di kalender. Beliau berkata, “Ulang tahun istri saya yang ke 35 akan segera tiba.” Dia meminta saya untuk memberi ide, apa sebaiknya yang akan diberikan pada istrinya sebagai hadiah ulang tahun.
Bunga mawar, kue ulang tahun, uhh… Terlalu kuno, tidak ada ide yang baru. Cincin berlian, jangan… Tidak cukup uang untuk membelinya, ia mempertimbangkan dengan serius. Saya akhirnya tidak dapat menahan diri lagi, sebuah ucapan menerjang keluar dari mulut, “Anda ini, apa pun tidak perlu diberikan, mulai saat ini jangan lagi menyuruh-nyuruh istri anda, biarkan saja istri anda melewati hari-harinya dengan santai, itu sudah cukup.”
Beliau menolak sambil tertawa, “Mana bisa begitu. Dia adalah istri saya, kalau saya tidak menyuruhnya, lalu saya harus menyuruh siapa lagi?”
“Istri anda akan segera tiba ajalnya, dan anda masih menyuruhnya mengerjakan ini dan itu, anda ini lelaki atau bukan? Masih adakah kasih sayang anda terhadap istri anda?” Di dalam ekspresi mata saya yang penuh dengan hinaan, lelaki yang ada di depan saya ini sungguh berwajah sangat menyebalkan.
Senyuman yang terdapat di wajahnya sirna perlahan-lahan, lalu ia berkata dengan perlahan, “Apakah anda merasa bahwa hanya dengan berkorban demi seseorang barulah dapat dikatakan cinta? Sebenarnya menuntut seseorang melakukan sesuatu juga merupakan suatu wujud cinta.
Tak lama setelah saya tahu istri saya sakit, yang saya pikirkan adalah waktunya di dunia ini sudah tidak lama lagi, biar bagaimana pun juga saya tidak mau ia bekerja keras demi aku. Saya melarangnya melakukan pekerjaan rumah apa pun, saya hanya berpikir agar ia dapat makan yang enak, pergi pesiar ke tempat-tempat yang diinginkannya, dan bisa beristirahat dengan baik. Akan tetapi keadaan tubuhnya kian hari kian buruk.
Istri saya berkata pada saya, bahwa ia merasakan bahwa hidup seperti seseorang yang tidak berguna sama sekali tidak ada artinya baginya untuk terus hidup, akan lebih baik untuk pergi lebih cepat. Saya katakan bahwa saya tidak akan membiarkannya pergi, saya masih belum puas menikmati daging kecap buatannya.
Sejak saat itu saya menuntutnya seperti biasa, memintanya untuk mengerjakan ini dan itu bagi diri saya, air mukanya perlahan-lahan kelihatan menjadi lebih segar. Sejak saat itulah saya baru memahami, mencintai seseorang, bukan hanya memberikan (berkorban), tapi juga harus saling membutuhkan.”
“Maka dari itu saya mengatakan pada istri saya, saya minta dia untuk menyetrika kemeja saya, saya ingin minum sup buatannya. Tahukah anda apa kata istri saya? Di saat ia menghembuskan nafasnya yang terakhir, ia pun tetap akan memasak beberapa macam masakan kesukaan saya untuk disimpan di dalam lemari es.
Merasa dibutuhkan oleh seseorang adalah merupakan suatu kebahagiaan tersendiri. Saya hanya memikirkan bagaimana saya dapat memuaskan kebahagiaan yang di dambakan istri saya itu. Mengertikah anda? Karena mencintai, maka akan selalu saling menuntut. Jika mencintai seseorang, berilah kesempatan kepadanya agar bisa mencintai anda.”
Suaranya agak terisak. Dan saya, sampai saat itu, baru mengerti cara untuk menyatakan cinta dari sisi yang berbeda. Akhirnya saya memahami, jika benar-benar mencintai seseorang, maka seharusnya anda dapat membuatnya merasa bahwa dirinya sangat dibutuhkan oleh anda, beri dia kesempatan untuk mencintai anda.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar