Selasa, 24 Agustus 2010
Mengapa menolong orang lain membuat diri lebih bahagia
Mengapa mereka yang gunakan hartanya untuk orang lain jadi lebih bahagia ketimbang mereka yang gunakan uang untuk dirinya sendiri? Jawabannya terletak di dalam otak kita. Pakar neuroeconomist William Harbaugh dan rekan2nya dari Universitas Oregon melakukan penelitian dengan memberikan para partisipan $ 100 di sebuah akun bank virtual dan lalu meminta mereka untuk berbaring di sebuah pemindai otak.
Awalnya, partisipan melihat (membayangkan) uang mereka dikeluarkan untuk membentu mereka yang sedang membutuhkan melalui penarikan pajak wajib. Setelah itu, mereka diminta memutuskan; apakah uangnya akan digunakan untuk diri mereka sendiri atau mau disumbangkan untuk amal.
Hasil pindai menunjukkan dua wilayah evolutif yang terletak jauh di dalam otak – caudate nucleus dan nucleus accumbens- menjadi aktif ketika para partisipan membayangkan sebagian uang mereka disumbangkan kepada mereka yang membutuhkan. Dan bahkan menjadi amat sangat aktif tatkala mereka memberikanya dengan sukarela (ikhlas).
Dua wilayah ini juga lah yang menjadi aktif tatkala kebutuhan kita yang paling mendasar terpenuhi makan santapan yang lezat atau dihargai oleh orang lain. Ini menunjukkan adanya hubungan langsung yang terjadi di otak kita antara aktivitas menolong orang lain dan sensasi/ rasa kebahagiaan.
Tak punya uang untuk disumbangkan? Tak masalah. Apa yang jadi esensi di sini adalah menolong orang lain. Bantuan dengan tenaga, pikiran, waktu; semuanya masuk hitungan. Para partisipan yang diminta untuk mengamalkan serangkain tindakan kebaikan kecil dalam satu hari tercatat menunjukkan peningkatan kebahagiaan hingga 40 persen.
Ada lagi resep bahagia yang ditemukan melalui riset. Psikolog Leaf Van Boven dan Thomas Gilovich menemukan bahwa seseorang ternyata akan bisa lebih bahagia tatkala dia menggunakan uangnya untuk membeli pengalaman (makan-makan khususnya bersama teman, nonton bareng suami/istri, berlibur bersama keluarga) alih-alih untuk membeli barang (sepatu baru, smartphone tercanggih).
Ini karena dalam pengalaman seringkali terdapat aspek sosialisasi. Sementara untuk barang-barang yang dibeli, dengan segera itu semua bisa menjadi terasa biasa tak lama setelah barang itu dibeli dan dimiliki. Lagipula, ada kemungkinan barang2 mahal yang dieli malah ternyata membuat seseorang malah terisolasi dari teman dan keluarga, yang merasa iri atau kurang jadi kurang suka akibat barang2 mewah itu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar