Rabu, 11 Agustus 2010
Jadi Majikan Diri Sendiri
Di dalam perjalanan kehidupan kita, ketika menjumpai orang yang mengeluarkan kata-kata tidak sopan kepada kita, bagaiman harus bersikap? Naik pitam atau mengekang diri tidak menangkis penghinaan? Setelah peristiwa itu apakah bisa semakin dipikir semakin naik darah?
Dalam situasi seperti ini, kebanyakan orang tidak bisa atau sangat sulit untuk mengendalikan emosi, tetapi bagi seseorang yang mementingkan pengasuhan diri, ia akan bisa menghadapi perselisihan itu dengan ketenangan hati dan damai, bisa menanggapi segala sesuatu dengan tenang.
Suatu ketika ada seorang biksu berkelana melewati sebuah desa, ada sebagian besar penduduk desa yang mencari biksu itu melontarkan kata-kata tidak sopan, bahkan ada yang mencaci-maki. Biksu tersebut diam berdiri dan dengan seksama mendengarkan makian dari penduduk desa.
Kemudian biksu itu berkata, “Terima kasih kepada Anda sekalian yang telah datang mencari saya, tetapi saya harus meneruskan perjalanan, penduduk dari desa yang lain sedang menantikan kedatangan saya. Kalian bisa menunggu sekembalinya saya dari desa itu, kalian akan mempunyai waktu yang lebih banyak. Jika Anda sekalian masih ada perkataan yang ingin disampaikan, bisakah kalian datang lagi mencari saya?”
Para penduduk desa itu sama sekali tidak percaya apa yang mereka dengar sendiri. Ada salah satu orang bertanya kepada biksu itu, “Masak Anda tidak mendengarkan apa yang telah kami katakan? Kami telah mencaci Anda tanpa ada satu pembenaran, tetapi Anda bahkan tidak ada reaksi sedikit pun juga!”
Biksu itu menjawab, “Jika Anda ingin melihat reaksi saya, maka Anda datang terlalu lambat, Anda seharusnya datang sepuluh tahun lebih awal, ketika itu saya bisa memberikan reaksi. Namun, sekarang saya sudah tidak lagi bisa dikendalikan oleh suasana hati orang lain, saya sudah bukan lagi budak perasaan (emosi), tetapi sudah bisa menjadi majikan yang sebenarnya bagi diri sendiri.”
Sabar dan mengalah yang sebenarnya bukanlah lemah tidak teguh, tetapi sebaliknya itu punya makna yang sangat mendalam, yang merupakan manifestasi dari seseorang yang mempunyai hati yang maha sabar dan berdada lapang.
Agama Budha mengatakan belas kasih, membimbing dan mengajarkan orang sabar mengalah dan memaafkan orang lain. Agama Kristen membicarakan “kasih kepada musuh Anda”. Khonghucu memprakarsai kebaikan hati, “Jangan memberikan kepada orang lain, apapun juga yang tidak Anda inginkan”.
Maka semua pengasuh diri yang sesungguhnya, memiliki kasih serta pandangan yang luas, tidak akan bersaing dan berebut demi hal-hal yang sangat kecil dan tidak berarti, juga tidak akan merasakan kerisauan hati terhadap hal-hal yang kecil. Diantara manusia dengan manusia juga bisa mempertahankan hubungan yang harmonis dan saling menghormati.
Dewasa ini, karena kebudayaan tradisional yang sudah rusak, mereka yang diindoktrinasi oleh kebudayaan Partai Komunis China serta filosofinya yang saling bertengkar dan berebut, menjadikan “jika orang lain membuat gara-gara terhadap saya, pasti akan saya balas” sebagai filsafat hidup untuk membawa diri dalam masyarakat.
Tidak peduli dalam keluarga atau di tempat umum, perselisihan dan pertikaian diantara hubungan berbagai macam manusia memenuhi kehidupan kita, sikap saling berebut dan bertengkar membuat manusia mempertahankan pendapat masing-masing semakin hari semakin meningkat. Manusia yang hidup dalam lingkungan semacam ini bisakah mereka mendapatkan kegembiraan dan kebahagiaan? Apakah masyarakat demikian ini bisa harmonis?
Oleh karena itu marilah kita campakkan pikiran kita yang dipadati oleh “pikiran bertengkar dan berebut”, juga mencoba mempelajari sedikit kebudayaan tradisional China, mencoba untuk meniru sikap hati dan perilaku dari orang kuno, tidak menutup kemungkinan hal tersebut bisa membawakan kelegaan dan kebebasan bagi diri kita, juga bisa membawakan keharmonisan dan keindahan yang sesungguhnya bagi orang-orang yang berada di sekitar kita.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar