My Sister’s Keeper, sebuah film drama Hollywood yang di-bintangi aktris Cameron Diaz, mengisahkan tentang kasih sayang antar anggota keluarga, sungguh sangat mengharukan.
Sejak usia dua tahun Kate telah menderita leukemia langka. Sang ibunda Sarah berhenti bekerja sebagai pengacara untuk mengurusnya. Demi menyelamatkan Kate, orangtuanya memanfaatkan teknologi medis canggih untuk mengandung dan melahirkan seorang anak lagi yang diberi nama Anna.
Anna yang secara genetika mempunyai kemiripan sempurna dengan Kate, mulai saat dilahirkan, terus-menerus menyumbangkan darah tali pusar, sel darah putih, sel induk, tulang sumsum dan lain sebagainya kepada Kate. Masa kecil mereka dilewatkan di rumah sakit dan berbagai proses medis, sedangkan sang putra, Jesse, sebagian besar waktunya telah terlupakan.
Ketika Sarah mengusulkan agar Anna mau menyumbangkan sebuah ginjal untuk Kate, Anna yang telah berusia 11 tahun menolaknya. Dia sudah tidak tahan lagi terus-menerus menjadi obat mujarab bagi sang kakak. Anna ingin memiliki hak kontrol yang nyata atas tubuhnya sendiri. Sementara itu, Kate juga sudah bosan dengan siksaan tanpa akhir atas pengobatan dan penantian kematian. Karena itu, Anna lalu mencari seorang pengacara terkemuka untuk menuntut orang tuanya ke pengadilan.
Film tersebut masuk ke dalam alur cerita melalui sudut pandang karakter-karakter yang berbeda, masing-masing dengan perasaan dan alasan-alasannya, setiap tokoh dilukiskan dengan elok dan halus. Salah seorang anggota menderita penyakit serius maka seluruh keluarga dipenuhi kemuraman. Selama belasan tahun telah memikul beban berat yang tak tertahankan. Sekalipun terdapat kehangatan ikatan kasih sayang dalam keluarga, namun juga terdapat konflik yang tidak seimbang, benar-benar merupakan hal yang otentik.
Sang ibu hanya memfokuskan perhatian pada satu bagian kehidupan, sedangkan bagian yang lebih menyeluruh telah terabaikan. Tanpa sadar, dirinya telah dibuat buta oleh kasih ibu yang berat sebelah. Sekalipun Sarah mengorbankan organ putri bungsunya untuk menunda kematian putri sulungnya akibat penyakit yang tidak dapat disembuhkan, ia juga tidak akan pernah memenangkan kompetisi tarik ulur dengan sakratul maut.
Menurut Buddhisme, lahir, tua, sakit, mati maupun panjang pendeknya usia manusia semua berhubungan dengan karma sebab-akibat, hutang-piutang kehidupan masa lampau dan takdir masa kini. Setiap orang memiliki takdir hidup sendiri-sendiri, jadi tidak mungkin dipaksakan. Cukup dengan menjaga baik-baik sanak keluarga yang dicintai dengan sepenuh hati. Tidak perlu bertindak melewati batas sehingga menjadi letih dan tersiksa lahir batin, bahkan saling menyiksa.
Teknologi canggih kedokteran modern dapat mengupayakan perpanjangan hidup manusia selama beberapa hari, dengan menyelipkan pipa, melakukan pembedahan dan memasukkan obat-obatan, dan lain sebagainya... tentu repotnya bukan main, penuh dengan ketakutan, ketegangan dan kegelisahan terus-menerus.
Namun saya lebih mengagumi meninggal dunia dalam kedamaian. Datang dan pergi lancar secara alami. Tak ada keluarga yang akan runtuh hanya karena wafatnya seorang kakak, sebaliknya justru akan mempererat kasih sayang sesama anggotanya, terbebas dari beban berat tak berkesudahan. Yang telah meninggal akan tetap hidup dalam ingatan mereka yang ditinggalkan.
Dunia semata-mata merupakan stasiun persinggahan dalam kehidupan, manusia hanya mampu menempuh garis lintas kehidupannya masing-masing seperti yang telah ditakdirkan, baik untuk berkumpul maupun berpisah. Dalam Alkitab juga mengatakan: “Segala sesuatu ada masanya, dunia dan isinya semua telah ditentukan waktunya, kelahiran ada saatnya, kematian ada temponya ... meninggalkan juga ada waktunya.”
Kehendak Tuhan tidak dapat dilanggar, setiap orang harus menanggung takdirnya sendiri. Organ orang lain memiliki informasi kehidupan orang yang bersangkutan, juga tidak boleh semaunya dipakai.
Tentu saja hal ini mudah diucapkan oleh orang yang tidak terlibat langsung, namun bagi pihak yang bersangkutan, paling sulit meninggalkan kasih sayang dalam keluarga. Namun setidaknya perlu menghadapi kematian dengan sedikit lebih rasional dan optimis.
Kalau sudah tak berdaya, daripada memaksakan diri lebih baik mengikhlaskan. Tidak setiap orang mempunyai keadaan yang sama. Pada usia 76 tahun Einstein mengalami pendarahan internal karena aortanya robek oleh tumor, sehingga perlu segera dioperasi. Namun ia menolak dan berkata: “Saya akan pergi kalau ingin pergi, dipaksa untuk memperpanjang usia rasanya kurang enak, saya sudah menyelesaikan dengan baik apa yang menjadi kewajiban saya, bila waktunya telah tiba saya akan pergi dengan leluasa.”
Keesokan harinya Einstein meninggal dunia, sungguh bebas leluasa!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar