Jumat, 13 Agustus 2010
Sekeranjang Telur Ayam
Teringat waktu kecil, saat ikut ibu berbelanja ke pasar, berjalan tak jauh tiba-tiba ibu menghilang. Saya cepat-cepat mencarinya kembali, terlihat tak jauh ibu sedang menghampiri seorang lelaki tua yang berjalan dengan susah lalu berkata, "Pak Wang, mengapa bisa sakit seperti ini?"
Orang tua itu mengangkat kepala melihat ibu seolah-olah melihat dewa penolong, "Oh, dokter, beberapa hari ini udara lembab dan dingin, mungkin masuk angin, ditambah lagi pinggang ini keseleo saat menarik gerobak batu bara, sehingga tidak bisa berdiri. Saya tidak memiliki jamsostek, apalagi sudah mendekati tahun baru..."
Dia membuka lipatan sabuk kain dan memperlihatkan sedikit uang receh yang ada di dalamnya,.Ia mengeluh sambil menggelengkan kepalanya, nampak pasrah.
Ibu tidak berkata apa-apa, langsung mengajaknya ke rumah. Sesampai di rumah, ia ditusuk jarum dan di-kop.
Tak lama kemudian, Pak Wang yang tadinya membungkuk waktu masuk rumah, sekarang keluar dengan tegak sambil mengucapkan terima kasih.
Selang beberapa hari, Pak Wang datang ke rumah dengan menjinjing sekeranjang penuh telur ayam yang ditutup rapat dengan kain. Menurut Pak Wang itu adalah pemberian keluarganya dari desa, sebagai ungkapan terima kasih pada ibu yang telah menolongnya, memohon pada ibu bagaimanapun juga harus menerima ketulusan hatinya.
Tadinya ibu tidak mau menerimanya, sempat terjadi saling dorong. Karena Ibu merasa Pak Wang agak marah, dengan terpaksa telur itu diterimanya, akan tetapi sebagai gantinya ibu lalu mengambil ikan asin yang tadinya dipersiapkan untuk acara makan tahun baru dan diberikan kepada Pak Wang.
Pada saat itu telur termasuk makanan mewah bagi keluarga kami. Satu atau dua butir telur harus dibagi seluruh anggota keluarga, hanya saat berulang tahun kami baru dapat menikmati makan sebutir telur. Saat itu Pak Wang membawakan kami sebegitu banyak telur, saya memandang keranjang itu dengan hati gembira.
Tetapi rupanya itu hanya kebahagiaan sesaat, karena begitu Pak Wang pulang, ibu berkata padaku, "Nak, kamu belajar piano, kita tidak punya uang membayar guru les. Sekarang, sekeranjang telur ini, berikan kepada guru lesmu."
Air mata kekecewaan memenuhi kelopak mata saya, tetapi mau tidak mau akhirnya saya melangkahkan kaki menuju rumah guru piano saya dengan sekeranjang telur itu.
Meskipun kondisi ekonomi keluarga tidak begitu bagus, tetapi ibu bersikeras saya untuk les piano. Zaman itu orang tua berpendapat bila kita dapat menguasai salah satu keahlian itu adalah bekal yang baik untuk masa depan kita.
Di kemudian hari, kami pindah ke Amerika Serikat. Saat berbelanja ke supermarket, saya merasa telur di sana sangat murah dan membelinya beberapa. Tetapi heran sekali, entah rasa telur yang berubah atau indera perasa saya yang berubah, pokoknya telur yang saya makan sekarang tidaklah senikmat seperti masa kecil.
Saya pernah menanyakan pada ibu apakah masih ingat sekeranjang telur yang diberikan oleh Pak Wang. Ibu samar-samar ingat, tetapi agak lupa.
Tiba-tiba HP saya berdering, yang menelepon adalah seorang pasien tua, katanya pinggangnya keseleo. Saya lalu memberitahunya untuk datang ke tempat praktek beberapa jam lagi. Dalam pembicaraan, ia seperti hendak menyampaikan sesuatu tetapi tidak bisa mengutarakannya. Saya menanyainya lebih detail, barulah mengerti bahwa ia baru saja di-PHK dan tidak punya jaminan pengobatan. Dia hanya mengandalkan kartu kredit untuk menyambung hidup.
Ah, sudah jatuh masih tertimpa tangga pula, pada waktu dia sangat membutuhkan pekerjaan, pinggangnya terkilir, sampai-sampai berdiri saja susah, apalagi mencari pekerjaan.
Saya katakan padanya untuk tidak banyak berpikir, dan agar dia datang untuk mengobati pinggangnya dulu. Beberapa jam kemudian setelah mengobatinya, keadaan pinggangnya sudah terasa jauh lebih ringan. Dengan rasa syukur ia pulang.
Beberapa hari kemudian dia menjinjing sekeranjang telur ayam ke rumah saya. Menurutnya itu adalah hasil dari ternak ayamnya, spesial buat saya sebagai rasa terima kasih telah mengobati pinggangnya.
Ibu melihat saya meletakkan sekeranjang telur itu di meja, sambil memandang saya, ia tersenyum, "Sekarang saya tidak khawatir lagi akan masa depanmu, kamu telah belajar bagaimana menjadi orang ..."
Apakah benar saya telah belajar bagaimana menjadi orang yang sesungguhnya? Untuk mencari pekerjaan, bertahan hidup, saya memang telah belajar berbagai keahlian kepada banyak guru. Puluhan tahun telah berlalu, saya telah melewati masa-masa yang sulit, tetapi saya mendapatkan bahwa semua keahlian yang saya dapatkan itu tidak ada satu pun yang dapat membebaskan saya menghadapi kepahitan dan kesulitan hidup.
Sekarang saya telah belajar Falun Dafa, Guru telah mengajari saya bagaimana harus menjadi orang, memberitahu saya banyak sekali prinsip kehidupan. Setiap kali teringat pada Guru, di dalam lubuk hati yang terdalam timbul perasaan yang tidak dapat saya utarakan.
Terima kasih Guru, akhirnya saya bisa dengan jelas mengerti makna kehidupan yang sesungguhnya yang selama ini telah menjadi teka teki setiap orang.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar