Sebelum kita mulai, Anda mungkin tergoda untuk bertanya, “Well, memangnya kenapa..?” Memangnya perlu kita repot-repot memikirkan masalah-masalah rumit ilmu pengetahuan dan filsafat..? Terhadap pertanyaan semacam ini, ada dua kemungkinan jawaban. Jika yang dimaksudkan dengan pertanyaan itu adalah: apakah kita perlu tahu tentang hal-hal itu agar dapat meneruskan hidup kita sehari-hari, tentu jawabannya adalah tidak. Tapi, jika kita ingin mendapat satu pemahaman rasional mengenai dunia yang kita diami ini, dan proses-proses dasar yang bekerja di alam, masyarakat dan cara kita untuk memandangnya, maka persoalannya akan jadi lain.
Aneh sebetulnya, tapi setiap orang memiliki “filsafat”-nya masing-masing. Sebuah filsafat adalah cara untuk memandang dunia. Kita semua yakin bahwa kita tahu bagaimana membedakan yang salah dari yang benar, yang baik dari yang buruk. Hal-hal inilah yang sebenarnya merupakan hal-hal rumit yang telah menyita pemikiran dari para pemikir terbesar di dunia sepanjang sejarah. Ketika kita dihadapkan dengan fakta yang mengerikan akan hadirnya kejadian-kejadian seperti perang saudara di Yugoslavia, kemunculan kembali pengangguran massal, pembantaian di Rwanda, banyak orang akan mengakui bahwa mereka tidak memahami hal-hal ini, dan seringkali mereka jatuh ke dalam rujukan-rujukan kabur semacam “watak manusia”.
Tapi apakah watak manusia ini, hal misterius yang dilihat sebagai sumber dari segala kejahatan dan katanya tidak akan pernah berubah sampai akhir jaman? Ini adalah pertanyaan filsafati yang mendasar, pertanyaan yang hanya sedikit yang berani menjawabnya. Kecuali orang-orang yang pikirannya telah dicor dengan pemikiran religius, di mana mereka akan mengatakan bahwa Tuhan, dalam kebijaksanaan-Nya, telah menakdirkan kita menjadi seperti demikian. Mengapa orang perlu menyembah satu Keberadaan yang mempermainkan ciptaan-Nya sendiri, itu adalah pertanyaan yang bukan hak kami untuk menjawabnya.
Mereka yang bersikeras bahwa mereka tidak menganut falsafah apapun telah jatuh ke dalam kekeliruan. Alam semesta membenci kekosongan. Orang-orang yang tidak memiliki satu falsafah yang tersusun secara koheren – rapi, teratur dan bersesuaian antar unsurnya – niscaya akan otomatis menjadi cermin dari ide-ide dan prasangka yang berlaku dalam masyarakat dan jaman di mana mereka hidup. Hal ini berarti, dalam konteks tertentu, bahwa kepala mereka akan penuh dengan ide-ide yang dicekokkan melalui koran, televisi, mimbar kotbah dan ruang-ruang kelas, semua yang secara setia merupakan cerminan dari kepentingan dan moralitas dari sistem kemasyarakat yang sedang berlaku.
Kebanyakan orang biasanya berhasil berkayuh melalui lumpur kehidupan, sampai terjadi satu benturan besar yang memaksa mereka untuk meninjau kembali segala ide dan nilai yang telah menyertai mereka selama itu. Krisis masyarakat memaksa mereka untuk mempertanyakan banyak hal yang selama itu mereka anggap wajar. Pada masa-masa semacam itu, ide-ide yang kelihatannya jauh di cakrawala tiba-tiba menjadi sangat relevan. Semua orang yang ingin memahami kehidupan, bukan sekedar sebagai satu urutan kebetulan yang tak bermakna dan rutinitas tanpa berpikir, harus mengeluti filsafat, yaitu, dengan pemikiran yang diletakkan lebih tinggi dari segala masalah mendesak yang dihadapi sehari-hari. Hanya dengan cara inilah kita akan mengangkat diri kita ke tingkatan di mana kita mulai mencapai kepenuhan potensi kita sebagai umat manusia yang memiliki kesadaran, yang mau dan mampu mengendalikan nasib kita sendiri.
Secara umum dipahami bahwa apapun yang berharga dalam hidup ini harus diperjuangkan. Studi filsafat, dari sifat dasarnya, melibatkan beberapa kesulitan, karena studi itu menangani hal-hal yang jauh terpisah dari dunia pengalaman sehari-hari. Bahkan istilah yang digunakan mengandung kesulitan-kesulitan karena kata-kata digunakan dengan susunan yang tidak selalu berhubungan dengan makna di mana kata-kata itu dipergunakan sehari-hari. Tapi, hal yang sama terjadi pula dalam berbagai bidang studi khusus, dari psikoanalisa sampai permesinan.
Hambatan yang kedua lebih serius lagi. Di abad yang lalu, ketika Marx dan Engels pertama menerbitkan tulisan-tulisan mereka tentang materialisme dialektik, mereka dapat mengasumsikan bahwa banyak pembaca mereka setidaknya memiliki pengalaman bergaul dengan filsafat klasik, termasuk Hegel. Kini mustahil membuat asumsi semacam itu.
Filsafat tidak lagi menempati tempat sepenting dulu, karena spekulasi atas alam raya telah digantikan oleh ilmu pengetahuan. Adanya teleskop-radio dan pesawat antariksa membuat kita tidak perlu lagi menerka-nerka sifat dan cakupan dari sistem tata-surya kita. Bahkan misteri kejiwaan manusia kini semakin tersingkap oleh neurobiologi dan psikologi.
Situasinya tidak sebaik itu di bidang ilmu-ilmu sosial, terutama karena gairah untuk mencapai pengetahuan yang akurat kini telah demikian berkurang sehingga ilmu pengetahuan justru menjadi hambatan bagi kepentingan material yang mengatur kehidupan manusia. Kemajuan-kemajuan besar yang dicapai oleh Marx dan Engels dalam bidang-bidang analisis sosial dan sejarah dan ekonomi tidak termasuk cakupan dari buku ini.
Cukuplah jika kami menunjukkan bahwa, sekalipun terus-menerus diserang dengan ganas sejak kelahirannya, teori Marxisme tentang perkembangan sosial telah menjadi satu faktor penentu dalam perkembangan ilmu-ilmu sosial modern. Untuk bukti tentang kebugaran dan keperkasaan teori ini, cukuplah kita melihat fakta bahwa serangan kepadanya bukan hanya berlanjut, tapi malah semakin meningkat intensitasnya seiring dengan berjalannya waktu.
Di masa lalu, perkembangan ilmu pengetahuan, yang selalu terkait erat dengan perkembangan kekuatan produktif, belumlah mencapai tingkat yang cukup tinggi untuk membuat orang sanggup memahami dunia yang mereka huni. Karena ketiadaan satu pengetahuan yang ilmiah, atau alat material untuk menggapai pengetahuan itu, mereka terpaksa menyandarkan diri pada satu-satunya alat milik mereka yang dapat membantu mereka untuk memahami dunia, dan untuk dapat mengendalikannya – nalar manusia.
Perjuangan untuk memahami dunia sangat dekat dengan perjuangan umat manusia untuk melepaskan diri dari tingkatan kesadaran hewani, untuk menguasai kekuatan alam yang membabi-buta itu dan untuk membebaskan diri dalam makna yang sejati, bukan legalistik. Perjuangan ini adalah benang merah yang merajut seluruh rangkaian kesejarahan manusia.
Peran Agama
“Mahluk yang bernama Manusia itu agaknya gila. Ia mustahil dapat menciptakan seekor ulat sekalipun, tapi ia menciptakan lusinan tuhan.” (Montaigne)
“Semua mitologi mengatasi dan mendominasi dan membentuk kekuatan alam dalam imajinasi dan oleh karena imajinasi; maka mitologi itu akan lenyap bersamaan dengan penguasaan sejati atas kekuatan-kekuatan alam itu.” (Marx)
Hewan tidak memiliki agama, dan di masa lalu dikatakan bahwa itulah perbedaan utama antara manusia dan “mahluk biadab”. Tapi sebenarnya itu cuma cara lain untuk mengatakan bahwa hanya manusia yang memiliki kesadaran dalam makna yang sepenuhnya.
Di tahun-tahun terakhir, terdapatlah beberapa reaksi terhadap ide bahwa Manusia adalah sebuah Ciptaan yang khusus dan unik. Sanggahan ini tepat, tak usah diragukan lagi, dalam makna bahwa manusia ber-evolusi dari hewan, dan dalam banyak aspek, tetaplah hewani.
Bukan hanya kita memiliki pula berbagai fungsi tubuh yang sama dengan hewan-hewan lain, tapi perbedaan genetik antara manusia dan simpanse hanya dua persen saja. Ini adalah jawaban yang keras terhadap hal-hal tidak masuk nalar yang dikemukakan para Kreasionis.
Riset-riset terbaru terhadap simpanse bonobo telah membuktikan tanpa keraguan lagi bahwa primata yang paling mirip manusia itu sanggup melakukan aktivitas mental yang mirip dalam beberapa aspek dengan aktivitas mental seorang anak kecil. Ini adalah bukti yang mengejutkan tentang hubungan kekerabatan antara manusia dan primata-primata termaju, tapi kemiripannya hanya sampai di sini saja.
Sekalipun para peneliti melakukan berbagai usaha, kera-kera bonobo dalam kurungan itu tidak pernah dapat bicara atau menciptakan alat batu yang mirip dengan alat-alat primitif yang dulu diciptakan nenek moyang manusia. Perbedaan genetik yang dua persen antara manusia dan simpanse menandai lompatan kualitatif dari hewan menuju manusia. Hal ini dicapai, bukan oleh tangan suatu Pencipta, tapi dari perkembangan otak yang didorong oleh kerja-kerja fisik.
Ketrampilan untuk membuat alat batu yang paling sederhana pun menuntut satu tingkat kemampuan mental dan pemikiran abstrak yang amat tinggi. Kemampuan untuk memilih jenis batu yang tepat dan menolak jenis yang lain; pemilihan sudut pukulan yang tepat untuk mengukir ujung batu menjadi tajam, dan penggunaan kekuatan pukulan yang tepat agar batu itu tidak rusak – hal-hal ini adalah tindakan-tindakan yang menuntut intelektualitas yang sangat rumit.
Rangkaian tindakan ini menentut derajat perencanaan dan kemampuan memperkirakan masa depan yang tidak dapati bahkan di tengah primata yang paling maju sekalipun. Sekalipun demikian, penggunaan dan pembuatan alat-alat batu bukanlah hasil dari perencanaan yang sadar, tapi merupakan sesuatu yang dijejalkan ke dalam otak nenek moyang manusia oleh kebutuhan-kebutuhan yang dihadapinya.
Bukan kesadaran yang menghasilkan umat manusia, melainkan desakan keadaan hidup manusia yang mendorong perbesaran ukuran otak, penciptaan kemampuan bicara dan kebudayaan, termasuk agama.
Kebutuhan untuk memahami dunia terkait erat dengan kebutuhan untuk bertahan hidup. Mahluk-mahluk hominid pertama, yang menemukan penggunaan keping-keping batu untuk memotong daging hewan yang berkulit tebal, mendapat keuntungan yang sangat besar untuk bertahan hidup ketimbang mahluk-mahluk lain yang tidak sanggup meraih sumber protein dan lemak yang luar biasa itu.
Mereka yang sanggup menyempurnakan alat-alat batu mereka dan sanggup mencari tempat yang menyediakan batu-batu terbaik akan memiliki kesempatan lebih besar untuk bertahan hidup. Dengan perkembangan teknik itu, muncullah pula perkembangan nalar, dan kebutuhan untuk menjelaskan berbagai gejala alam yang mengatur hidup mereka.
Dalam jangka jutaan tahun, melalui trial and error, nenek-moyang kita mulai menetapkan berbagai hubungan antar benda-benda. Mereka mulai membuat abstraksi, yaitu, menggeneralisasi pengalaman dan praktek yang mereka temui sehari-hari.
Selama berabad-abad, pertanyaan mendasar dari filsafat adalah hubungan dari pemikiran terhadap keberadaan. Kebanyakan orang hidup dengan cukup bahagia tanpa perlu memikirkan persoalan ini. Mereka berpikir dan bertindak, bicara dan bekerja, tanpa secuilpun kesulitan. Lebih jauh lagi, mustahil bagi mereka untuk menganggap dua aktivitas dasar manusia itu sebagai dua hal yang terpisah, karena dalam praktek keduanya saling tergantung satu sama lain. Bahkan tindakan-tindakan yang paling sederhana, jika kita mengabaikan tindakan-tindakan yang didorong semata oleh insting biologis, membutuhkan pemikiran. Sampai tingkat tertentu, hal ini benar bukan hanya untuk manusia tapi juga untuk hewan, seperti ketika seekor kucing bersembunyi untuk menyergap sang tikus.
Di tengah manusia, walau demikian, jenis pemikiran dan perencanaan yang dimilikinya memiliki karakter yang secara kualititatif lebih tinggi daripada segala aktivitas mental hewan lain, bahkan dari kera-kera yang paling maju sekalipun.
Fakta ini terkait erat dengan kapasitas berpikir abstrak, yang memungkinkan manusia untuk melampaui kondisi-kondisi mendesak yang dialaminya melalui indera-inderanya. Kita dapat menimbang situasi, bukan hanya yang terjadi di masa lalu (hewan juga memiliki ingatan, seperti seekor anjing yang mengkerut seketika ia melihat sebatang tongkat) tapi juga apa yang mungkin terjadi di masa depan. Kita dapat mengantisipasi situasi yang kompleks, merencanakan, dan dengan demikian menentukan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Termasuk, sampai titik tertentu, menentukan nasib kita sendiri. Sekalipun kita tidak biasanya berpikir tentang hal ini, sebenarnya ini adalah satu penaklukan mahabesar yang membedakan umat manusia dari lain-lain mahluk. “Apa yang khas dari cara berpikir manusia,” ujar Professor Gordon Childe, “adalah bahwa cara itu menjelajah tempat yang luar biasa jauh dari situasi yang sedang dihadapi, dibandingkan apapun yang dapat dipikirkan hewan tentang hal itu.”[i] Dari kemampuan ini, lahirlah segala jenis ciptaan peradaban, kebudayaan, kesenian, musik, literatur, ilmu pengetahun, filsafat dan agama.
Kita juga menganggap wajar bahwa semua itu tidak jatuh dari langit, melainkan satu hasil dari pengembangan selama jutaan tahun.
Filsuf Yunani, Anaxagoras (500-428 SM), dalam sebuah deduksi yang gemilang, menyatakan bahwa perkembangan mental manusia tergantung dari terbebaskannya tangan. Dalam artikelnya yang penting, The Part Played by Labour in the Transition from Ape to Man, Engels menunjukkan dengan rinci cara yang ditempuh oleh transisi ini. Ia membuktikan bahwa posisi berdiri tegak, yang membebaskan tangan untuk kerja-kerja, bentuk tangan, dengan posisi ibu jari yang berseberangan dengan jari lainnya, yang memungkinkan tangan manusia menggenggam dengan erat, adalah prakondisi fisik yang dituntut untuk pembuatan alat-alat.
Pembuatan alat ini, pada gilirannya, adalah perangsang utama untuk perkembangan otak manusia. Kemampuan bicara itu sendiri, yang tidak terpisahkan dari pemikiran, muncul dari kebutuhan untuk produksi sosial, kebutuhan untuk menjalankan berbagai fungsi kerja sama yang rumit. Teori-teori Engels ini telah dibuktikan secara mencolok oleh penemuan-penemuan terbaru dalam bidang paleontologi, yang menunjukkan bahwa kera-kera hominid muncul di Afrika jauh lebih dahulu dari apa yang diperkirakan sebelumnya, dan mereka memiliki otak yang jauh lebih kecil dari simpanse modern.
Maka dapat dikatakan bahwa perkembangan otak muncul setelah dihasilkannya alat-alat batu, dan merupakan hasil dari proses penciptaan alat-alat itu. Jadi, tidaklah benar bahwa “Pada awalnya adalah Sabda,” tapi seperti yang dikemukakan oleh penyair Jerman, Goethe – “Pada awalnya adalah Kerja.”
Kemampuan untuk bergelut dengan pemikiran abstrak terkait erat dengan bahasa. Sejarawan ternama Gordon Childe menyatakan:
“Nalar, dan segala yang kita sebut berpikir, termasuk proses berpikir seekor simpanse, harus menyertakan satu operasi mental dengan apa yang disebut oleh para psikolog sebagai citra. Satu citra visual, satu gambaran mental dari, katakanlah, sebuah pisang, selalu bergantung dari an akan sebuah pisang tertentu yang berada dalam sebuah lingkungan tertentu. sebuah kata, seperti yang telah dijelaskan, adalah lebih umum dan abstrak, setelah menyingkirkan kondisi-kondisi khusus yang membedakan satu pisang dengan pisang yang lain.
Gambaran mental dari kata-kata (gambaran dari bunyi atau gerakan otot yang dibutuhkan untuk mengutarakannya) membentuk satu tanggapan yang merangsang proses berpikir. Berpikir dengan bantuan kata-kata, dengan demikian, mengandung persis kualitas abstraksi dan generalisasi yang tidak dimiliki oleh proses berpikir hewan. Manusia dapat berpikir, dan juga bicara, tentang kelas benda-benda yang dikenal sebagai ‘pisang’; simpanse tidak pernah dapat berpikir lebih jauh dari ‘pisang di dalam kantung yang itu’. Dengan cara ini, alat sosial yang dinamakan bahasa berperan serta dalam apa yang secara bombastis digambarkan sebagai ‘emansipasi umat manusia dari keterikatan menuju kekongkritan’.”[ii]
Manusia-manusia pertama, setelah jangka waktu yang panjang, membentuk ide umum tentang, katakanlah, sebatang tanaman atau seekor hewan. Ide ini tumbuh dari pengamatan kongkrit terhadap berbagai tanaman atau hewan. Tapi ketika kita tiba pada konsep umum “tanaman”, kita tidak lagi melihat di hadapan kita tanaman ini atau itu secara khusus, tapi apa yang jamak menjadi sifat umum di antara mereka. Kita menyerap makna hakikat tanaman, keberadaannya yang paling mendasar. Bila dibandingkan dengan hakikat ini, ciri-ciri khusus dari tanaman tertentu dipandang sekunder dan tidak stabil.
Apa yang selalu ada dan universal terkandung dalam pandangan umum tentang tanaman. Kita tidak akan pernah melihat “tanaman” seperti gambaran tertentu, seperti ketika kita menyebut satu jenis tanaman atau semak tertentu. Konsep itu adalah abstraksi yang dilakukan oleh nalar manusia. Namun demikian, abstraksi itu justru merupakan pernyataan yang lebih dalam dan lebih sejati tentang apa yang hakiki di dalam sifat tanaman setelah sifat-sifat yang sekunder dilucuti daripadanya.
Walau demikian, abstraksi dari manusia-manusia pertama masih jauh dari watak-watak ilmiah. Abstraksi itu adalah penjelajahan yang tentatif sifatnya, seperti kesan yang didapat anak-anak kecil – terkaan dan hipotesis, yang kadang keliru, tapi selalu berani dan imajinatif. Bagi nenek-moyang kita tempo dulu, matahari adalah satu mahluk agung yang kadang menghangatkan mereka, kadang membakar mereka.
Bumi adalah seorang raksasa yang sedang tidur. Api adalah hewan buas yang menggigit mereka ketika mereka menyentuhnya. Manusia-manusia pertama mengamati kilat dan guntur. Kedua hal itu pasti menakutkan bagi mereka, seperti ketakutan yang masih dialami baik oleh hewan atau manusia sampai sekarang. Tapi, tidak seperti hewan, manusia mencari satu penjelasan umum atas gejala-gejala itu. Karena mereka tidak memiliki pengetahuan ilmiah, penjelasan itu niscaya akan berupa penjelasan yang supernatural – dewa-dewa tertentu, yang menghantam landasan tempa dengan palu godamnya.
Bagi kita, penjelasan itu kelihatannya lucu, seperti penjelasan naif yang diberikan oleh anak-anak kecil. Walau demikian, pada masa itu, penjelasan-penjelasan itu adalah hipotesis yang sangat penting – satu upaya untuk menemukan satu sebab rasional dari gejala-gejala termaksud. Penting untuk manusia agar dapat membedakan antara berbagai pengalaman hidup yang dihadapinya, dan melihat sesuatu yang berdiri di luar pengalaman-pengalaman itu.
Bentuk yang paling berciri dari agama-agama pertama adalah animisme – pandangan bahwa segala hal, yang hidup maupun yang tidak hidup, memiliki roh. Kita melihat reaksi yang sama dari seorang anak kecil ketika ia, setelah terbentur pada sebuah meja, memukul meja itu. Dengan cara yang sama, manusia-manusia pertama, dan juga beberapa suku tertentu sampai sekarang, akan memohon maaf pada pohon-pohon sebelum mereka menebangnya.
Animisme berjaya dalam satu masa ketika manusia masih belum terpisah jauh dari dunia hewan dan alam secara umum. Kedekatan manusia pada dunia hewan dibuktikan oleh kesegaran dan keindahan dari gambar-gambar gua, di mana kuda, kijang dan bison digambarkan dengan satu kealamian yang tidak akan pernah lagi dapat diguratkan oleh artis-artis modern. Masa itu adalah masa kecil dari peradaban manusia, yang telah pergi dan tak akan kembali. Kita hanya dapat membayangkan psikologi dari nenek-moyang jauh kita itu. Tapi, dengan menggabungkan penemuan-penemuan paleontologi dengan antropologi, dimungkinkan bagi kita untuk merekonstruksi, setidaknya secara garis besar, dunia yang telah memunculkan peradaban umat manusia itu.
Dalam studi antropologi klasiknya tentang asal-usul sihir dan agama, Sir James Frazer menulis:
“Seorang barbar hampir sama sekali tidak membuat pembedaan yang biasanya dibuat oleh orang-orang yang lebih maju antara apa yang natural dan yang supernatural. Baginya, dunia ini secara umum digerakkan oleh unsur-unsur supernatural, yaitu, oleh mahluk-mahluk yang digambarkan mirip manusia, yang bekerja dengan dorongan impuls dan motif seperti yang dimilikinya, seperti dirinya juga tergerak oleh belas kasihan dan permohonan-permohonan, harapan dan juga ketakutan.
Dalam sebuah dunia yang digambarkan seperti itu, ia tidak melihat batasan bagi kekuatan ini untuk mempengaruhi jalannya alam bagi keuntungannya sendiri. Doa-doa, janji-janji, atau ancaman-ancaman dapat menjaminkan baginya cuaca yang baik dan panen yang melimpah sebagai berkat dewata; dan jika dewa-dewa sampai menitis ke dalam dirinya, seperti yang kadang dipercaya demikian, maka ia tidak lagi perlu memohon pada sesuatu yang lebih tinggi dari dirinya; ia, orang barbar itu, memiliki di dalam dirinya seluruh kekuatan yang diperlukan untuk memajukan kesejahteraannya sendiri maupun bagi sesamanya.”[iii]
Pandangan bahwa jiwa hadir terpisah dan tersendiri dari tubuh diwariskan dari masa paling lampau dari jaman kebiadaban. Basis untuk pandangan itu sangatlah jelas. Ketika kita tidur, jiwa nampak meninggalkan tubuh dan mengembara di dalam mimpi. Jika pandangan ini dikembangkan lebih jauh, kemiripan antara kematian dan tidur (”saudara kembar dari Kematian”, seperti kata Shakespeare) menimbulkan ide bahwa jiwa akan terus hadir sesudah kematian. Maka manusia-manusia pertama menyimpulkan bahwa terdapat sesuatu di dalam tubuh yang terpisah dari tubuh itu sendiri.
Inilah jiwa, yang menguasai tubuh, dan dapat melakukan segala macam hal yang luar biasa, bahkan ketika tubuh sedang tertidur. Mereka juga mengamati bagaimana sabda-sabda kebijaksanaan diucapkan oleh para tetua, dan menyimpulkan bahwa, sekalipun tubuh mati, jiwa akan terus hidup. Bagi orang-orang yang terbiasa dengan ide-ide tentang migrasi, kematian dilihat sebagai migrasi jiwa, yang membutuhkan makanan dan peralatan lain untuk perjalanannya.
Pada awalnya, roh tidak memiliki kediaman tertentu. Mereka hanya mengembara, biasanya membuat kekacauan, yang memaksa semua yang hidup untuk menempuh berbagai kesulitan untuk menenangkan roh-roh itu. Di sini kita mendapati asal-usul upacara-upacara keagamaan. Pada akhirnya, muncullah satu ide bahwa kita dapat memohon pula bantuan dari para roh melalui doa-doa. Pada tingkatan ini, agama (sihir), seni dan ilmu tidak dibedakan satu sama lain. Karena mereka tidak memiliki alat untuk benar-benar mengendalikan lingkungan mereka, manusia-manusia pertama mencoba menundukkan lingkungan itu melalui penyatuan sihir dengan alam.
Sikap manusia-manusia pertama terhadap dewa-dewa dan pemujaan-pemujaan agaknya praktis. Doa-doa ditujukan untuk mendapatkan hasil. Seseorang akan membuat gambar dengan tangannya lalu berlutut menyembah gambar itu. Tapi jika tindakan itu tidak membawa hasil ia akan mengutuk gambar itu dan menginjak-injaknya. Jika permohonan tidak membawa hasil ia akan menggunakan kekerasan.
Dalam dunia aneh yang penuh dengan hantu dan mimpi ini, dunia agamawi ini, pemikiran-pemikiran primitif melihat segala peristiwa sebagai karya dari roh yang tak kasat mata. Tiap semak dan aliran sungai dilihat sebagai mahluk yang hidup, yang bersahabat atau bermusuhan. Tiap kejadian, tiap mimpi, rasa sakit atau sensasi, disebabkan oleh roh. Penjelasan religius mengisi kekosongan yang disebabkan tiadanya penjelasan yang ilmiah tentang hukum-hukum alam. Bahkan kematian tidak dilihat sebagai satu kejadian yang alami, melainkan sebagai satu akibat dari pelanggaran-pelanggaran tertentu terhadap perintah dewata.
Selama sebagian besar masa keberadaan umat manusia, pikiran manusia terisi penuh dengan hal-hal semacam ini. Dan bukan hanya dalam apa yang dianggap orang sebagai masyarakat primitif. Jenis tahyul yang sama terus hadir dalam kedok yang agak berbeda saat ini. Di bawah tabir tipis peradaban merunduklah satu kecenderungan dan ide-ide irasional primitif yang memiliki akar jauh di masa lalu, masa-masa yang telah lama terlupakan tapi belum sepenuhnya ditinggalkan. Dan juga tidak akan sepenuhnya dapat ditinggalkan selama umat manusia masih belum berhasil menegakkan kendali sepenuhnya atas kondisi kehidupannya sendiri.
Pembagian Kerja
Frazer menunjukkan bahwa pembagian antara kerja-kerja fisik dan mental dalam masyarakat primitif, mau tidak mau, terkait kepada pembentukan kasta pendeta, shaman (dukun) atau tukang sihir.
“Kemajuan sosial, seperti yang kita tahu, terutama terdiri dari berbagai pengkhususan fungsi yang terjadi berturutan, atau, dalam bahasa yang lebih sederhana, pembagian kerja. Kerja-kerja yang dalam masyarakat primitif dikerjakan oleh semua orang tanpa kecuali, termasuk oleh orang-orang yang tidak sanggup mengerjakan pekerjaan itu, semakin hari semakin dibagi ke dalam berbagai kelas pekerja dan dikerjakan dengan semakin sempurna; jadi, selama hasil kerja terspesialisasi itu, baik yang material atau imaterial, dimiliki bersama oleh semua orang, keseluruhan masyarakat masih akan terus mendapat keuntungan yang semakin tinggi sejalan dengan meningkatnya spesialisasi. Kini, para tukang sihir dan dukun kelihatannya menyusun kelas artifisial atau profesional pertama dalam evolusi masyarakat. Karena para tukang sihir itu ditemui di berbagai suku primitif yang masih kita kenal saat ini; dan di antara masyarakat yang paling primitif, seperti aborigin Australia, merekalah satu-satunya kelas profesional yang ada.”[iv]
Dualisme yang memisahkan jiwa dari tubuh, nalar dari materi, pikiran dari perbuatan, mendapat impuls yang maha kuat dari perkembangan pembagian kerja dalam tahap tertentu dari evolusi sosial. Pemisahan antara kerja-kerja fisik dan mental adalah satu gejala yang terjadi berbarengan dengan pembagian masyarakat ke dalam kelas-kelas. Hal itu menandai kemajuan besar dalam perkembangan umat manusia. Untuk pertama kalinya sekelompok kecil orang dalam masyarakat terbebaskan dari keharusan untuk bekerja agar dapat memperoleh apa-apa yang dibutuhkannya untuk bertahan hidup. Kepemilikan dari komoditas yang paling mahal harganya itu – waktu luang – berarti bahwa orang dapat mengabdikan hidupnya kepada studi mengenai bintang-bintang. Seperti yang diterangkan oleh Ludwig Feuerbach, filsuf materialis Jerman itu, ilmu pengetahuan teoritik dimulai dengan astrologi:
“Hewan hanya dapat memahami berkas-berkas sinar yang langsung mempengaruhi kehidupannya; sementara manusia memberi tanggapan terhadap berkas-berkas sinar, yang sebenarnya tidak berbeda satu sama lain secara fisik, yang datang dari bintang-bintang. Hanya Manusia yang memiliki kegembiraan dan gairah yang murni intelektual dan tanpa kepentingan; hanya mata manusia yang dapat menangkap festival-festival teoritik. Mata yang menjelajah langit berbintang, yang menantap sinar dari mereka, yang tidak mengandung kegunaan maupun bahaya, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan segala yang di bumi dan apa yang dibutuhkan di sini – mata ini melihat dalam berkas-berkas sinar itu karakternya sendiri, asal-usulnya sendiri. Mata itu dari sifat dasarnya terikat pada langit. Dengan demikian manusia mengangkat dirinya terbang di atas bumi hanya dengan menggunakan matanya; dengan demikian teori dimulai dengan perenungan atas langit. Para filsuf yang pertama adalah para ahli perbintangan.”[v]
Sekalipun pada tahap awalnya ini teori masih tercampur-aduk dengan agama, dan kebutuhan dan kepentingan dari satu kasta pendeta, perkembangan ini juga menandai kelahiran peradaban manusia. Hal ini telah disadari oleh Aristoteles, yang menulis:
“Seni teoritik ini, lebih jauh lagi, diperkembangkan di tempat-tempat di mana manusia memiliki banyak waktu luang: matematika, contohnya, berasal dari Mesir, di mana satu kasta pendeta menikmati waktu luang yang dibutuhkan untuk memperkembangkannya.”[vi]
Pengetahuan adalah sumber kekuatan. Di masyarakat manapun di mana seni, ilmu pengetahuan dan pemerintahan dimonopoli oleh segelintir orang, kaum minoritas itu akan terus menggunakan dan menyalahgunakan kekuasaan di tangannya itu demi kepentingannya sendiri. Meluapnya sungai Nil adalah persoalan hidup-mati bagi banyak orang, yang hasil panennya bergantung dari tingkat luapan sungai itu. Kemampuan para pendeta Mesir untuk meramalkan, berdasarkan pengamatan atas bintang-bintang, tentang kapan sungai Nil akan meluap pasti telah mengangkat tinggi prestise dan kekuasaan yang mereka nikmati di dalam masyarakat. Seni menulis, penemuan yang paling dahsyat itu, adalah satu rahasia yang dijaga maha ketat oleh kasta pendeta. Seperti yang menjadi komentar Ilya Prigogine dan Isabelle Stenger:
“Orang-orang Sumeria menemukan tulisan; para pendeta Sumeria berspekulasi bahwa masa depan mungkin tertulis dengan cara-cara rahasia dalam urutan terjadinya peristiwa-peristiwa pada masa kini. Mereka bahkan mensistematisir kepercayaan itu, mencampurkan baik unsur-unsur sihir maupun rasional.”[vii]
Pengembangan lebih jauh atas pembagian kerja menimbulkan jurang yang tak terseberangi antara kaum elit intelektual dan mayoritas umat manusia, yang dikutuk untuk bekerja sepanjang hidup dengan kedua tangannya. Kaum intelektual, baik para pendeta Babilonia maupun para teoritisi fisika di jaman modern ini, hanya mengenal satu jenis pekerjaan, kerja mental. Setelah melalui puluhan milenia, superioritas kerja mental atas kerja fisik yang “kasar” menjadi semakin terukir dan akhirnya membangun semacam kekuatan prasangka. Bahasa, kata-kata dan pemikiran akhirnya memperoleh berkah kekuatan mistis. Kebudayaan menjadi monopoli dari kaum elit yang teristimewakan, yang dengan maha ketat menjaga rahasia mereka, dan menggunakan dan menyalahgunakan posisi mereka demi kepentingan mereka sendiri.
Di masa lalu, aristokrasi intelektual tidak berupaya untuk menyembunyikan kejijikan mereka akan kerja-kerja fisik. Kutipan berikut berasal dari teks Mesir yang dikenal sebagai The Satire on the Traders, yang ditulis sekitar tahun 2000 SM dan diperkirakan berisi nasehat dari seorang ayah kepada anaknya, yang ia kirim ke Sekolah Menulis untuk berlatih menjadi seorang juru tulis:
“Saya telah melihat bagaimana seorang pekerja kasar disuruh untuk bekerja kasar – kamu harus mengeraskan hati kamu dalam mempelajari tulisan. Dan saya telah mengamati bagaimana seseorang dapat menghindari pekerjaannya [sic!] – lihatlah, tidak sesuatupun yang dapat melebihi tulisan….
“Saya telah melihat bagaimana seorang pandai besi bekerja di depan mulut tungku apinya. Jari-jarinya menjadi mirip jari-jari buaya; batu tubuhnya melebihi bau seekor ikan busuk….
“Seorang kuli pembangun rumah mengusung lumpur…. Ia lebih kotor dari seorang gelandangan atau babi karena ia mengarungi lumpur. Bajunya kaku karena dilumuri tanah liat….
“Para pembuat anak panah, kasihan sekali nasibnya ketika ia harus berjalan mengarungi padang pasir [untuk mencari batu-batu tajam]. Lebih agung apa yang ia berikan pada keledainya daripada apa yang setelah itu dikerjakannya …
“Para pencuci pakaian mencuci di tepi sungai, bertetangga dengan buaya….
“Lihatlah, tidak ada pekerjaan yang tidak memiliki majikan – kecuali para juru tulis: ia adalah majikan….
“Lihatlah, tidak ada juru tulis yang kekurangan makan dari harta Istana Para Raja – kehidupan, kemakmuran, kesehatan! … Ayah dan ibunya memuja para dewa, ia dibebaskan dari keharusan mencari penghidupan. Lihatlah hal-hal ini – saya [telah menguraikannya] di hadapanmu dan anak-cucumu.”[viii]
Sikap yang sama berkembang pula di tengah orang-orang Yunani:
“Apa yang disebut seni mekanik,” kata Xenophon, “menanggung satu stigma sosial yang dengan tepat dicela di tengah kota-kota kita, karena seni semacam ini merusak tubuh dari mereka yang bekerja di dalamnya atau yang bekerja sebagai mandornya, karena kerja-kerja ini mengutuk mereka ke dalam hidup yang terikat dan kepada kehidupan rumahan dan, pada beberapa kasus, untuk menghabiskan seluruh hari di depan tungku-tungku api. Pembusukan fisik itu menghasilkan pula pembusukan dalam jiwa. Lebih jauh lagi, para pekerja dalam bidang-bidang ini tidak akan pernah memiliki waktu untuk menjalankan kerja-kerja pemerintahan atau perkawanan. Sebagai akibatnya mereka dilihat sebagai kawan yang buruk atau warga negara yang buruk, dan di beberapa kota, terutama yang gemar berperang, adalah hal yang ilegal bagi seorang warga negara untuk terlibat dalam kerja-kerja mekanik.”[ix]
Perceraian radikal antara kerja-kerja mental dan fisik memperdalam ilusi bahwa ide, pemikiran dan kata-kata memiliki keberadaan yang mandiri. Pandangan yang keliru ini terpancang dalam jantung semua agama dan filsafat idealisme.
Bukanlah dewa yang menciptakan manusia seturut citranya, tapi, sebaliknya, manusialah yang menciptakan dewa-dewa sesuai dengan citra dan keinginan mereka. Ludwig Feuerbach pernah berkata bahwa jika burung memiliki agama, Tuhan mereka akan bersayap. “Agama adalah sebuah mimpi, di mana pandangan dan emosi kita muncul di hadapan kita sebagai satu keberadaan yang mandiri, yang hadir di luar diri kita.
Pemikiran religius tidaklah membedakan mana yang subjektif, mana yang objektif – pemikiran itu tidak memiliki keraguan; ia memiliki berkah, bukan dalam kemampuan memahami hal-hal lain di luar dirinya, tapi dalam melihat dirinya sesuai pandangannya sendiri sebagai satu keberadaan yang khusus dan istimewa.”[x] Hal ini juga dipahami oleh orang-orang semacam Xenophanes dari Colophon (565-c.470 SM), yang menulis “Homer dan Hesiod telah membebankan pada para dewa setiap tindakan yang memalukan dan tidak terhormat di kalangan manusia: pencurian dan perjinahan dan penipuan satu di antara yang lain… Orang-orang Ethiopia membuat dewa-dewa mereka berkulit hitam dan berhidung pesek, dan orang-orang Thracia membuat dewa-dewa mereka bermata pucat dan berambut merah…. Jika hewan dapat melukis dan menciptakan benda-benda, kuda-kuda dan sapi-sapi juga akan membuat dewa-dewa mereka sesuai dengan citra mereka sendiri.”[xi]
Mitos tentang Penciptaan yang hidup di dalam hampir setiap agama selalu mengambil kisahnya dari kehidupan sehari-hari, contohnya, citra seorang tukang keramik yang “menghidupkan” seonggok tanah liat tak berbentuk. Menurut pendapat Gordon Childe, kisah Penciptaan dalam buku pertama Kejadian mencerminkan fakta bahwa, di Mesopotamia daratan memang terpisah dari lautan “pada Awal Jaman,” tapi bukan oleh sebuah karya ilahi:
“Daratan di mana kota-kota Babilonia yang agung itu didirikan telah secara harafiah diciptakan; pendahulu pra-sejarah dari Erech yang tercantum di kitab-kitab suci mereka didirikan di atas semacam platform dari jerami, yang disusun silang-menyilang di atas gundukan lumpur aluvial. Buku Kejadian kaum Yahudi telah mengakrabkan kita dengan tradisi yang jauh lebih tua dari kondisi alami orang-orang Sumeria – satu keadaan ‘chaos’ di mana batas antara air dan tanah kering masih terus maju-mundur. Satu insiden yang esensial dalam “Penciptaan” adalah pemisahan dari unsur-unsur ini. Walau demikian, bukanlah para dewa, melainkan orang-orang Sumeria sendirilah yang menciptakan daratan; mereka menggali saluran-saluran untuk mengairi ladang dan mengeringkan rawa; mereka membuat parit-parit dan gundukan-gundukan untuk melindungi manusia dan ternak dari air dan menghindari banjir; mereka membuka rawa-rawa ganggang dan menjelajah daratan di antara rawa-rawa itu. Kemampuan bertahan yang membuat ingatan akan perjuangan ini terus hidup dalam tradisi Sumeria adalah satu ukuran akan beratnya perjuangan yang dihadapi oleh orang-orang Sumeria kuno. Imbalan bagi mereka adalah satu jaminan akan pasokan bahan makanan bergizi, panen yang melimpah dari ladang yang telah mereka rebut dari air, dan ladang penggembalaan yang subur bagi ternak dan piaraan mereka.”[xii]
Upaya pertama Manusia untuk menjelaskan dunia ini dan posisinya di dalamnya bercampur aduk dengan mitologi. Orang-orang Babilonia percaya bahwa dewa Marduk menciptakan Keteraturan dari Kekacauan, memisahkan daratan dari air, langit dari bumi. Mitos Penciptaan biblikal ini diambil-alih oleh orang Yahudi dari tangan orang Babilonia, dan di kemudian hari jatuh ke tangan orang Kristen. Sejarah sejati dari pemikiran ilmiah dimulai ketika orang-orang mulai menyingkirkan mitologi, dan mencoba untuk memperoleh satu pemahaman yang rasional atas alam, tanpa campur-tangan dewa-dewa. Baru setelah itulah, perjuangan sejati untuk emansipasi umat manusia dari belenggu-belenggu material dan spiritual dapat dimulai.
Munculnya filsafat merupakan wakil satu revolusi sejati dalam pemikiran manusia. seperti kebanyakan peradaban modern, kita berhutang budi pada orang-orang Yunani kuno untuk hal itu. Walaupun kemajuan-kemajuan besar dicapai pula oleh orang-orang India dan Tiongkok, dan juga kemudian orang-orang Arab, orang-orang Yunanilah yang mengembangkan filsafat dan ilmu pengetahuan sampai tingkatan yang tertinggi sebelum terjadinya Renaisans (Jaman Pencerahan). Sejarah pemikiran Yunani dalam masa empat ratus tahun, sejak pertengahan abad ke-7 SM, mengandung satu dari bagian-bagian yang terpenting dalam kitab sejarah umat manusia.
Materialisme dan Idealisme
Seluruh sejarah filsafat dari jaman Yunani sampai hari ini tersusun atas pergulatan antara dua aliran pemikiran yang persis berseberangan – materialisme dan idealisme. Di sini kita mendapati satu contoh yang sempurna tentang bagaimana kedua istilah yang dipergunakan dalam filsafat ini berbeda makna secara hakiki dengan maknanya yang dipergunakan sehari-hari.
Ketika kita merujuk seseorang sebagai “idealis”, kita biasanya berpikir tentang seseorang yang memiliki ideal-ideal yang tinggi dan moralitas yang tak bercacat. Seorang materialis, sebaliknya, dipandang sebagai seorang yang tidak punya prinsip, seorang pengeruk uang, seorang individualis yang hanya memikirkan diri sendiri, dengan nafsu serakah untuk makanan dan benda-benda duniawi lain – pendeknya, seorang yang sama sekali tidak menyenangkan.
Kedua pemaknaan ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan materialisme dan idealisme di dunia filsafat. Dalam makna filosofis, idealisme memiliki akar dari pandangan bahwa dunia ini hanyalah cerminan dari ide, pikiran, roh atau, lebih tepatnya Ide, yang hadir sebelum segala dunia ini hadir. Benda-benda material kasar yang kita kenal melalui indera kita, menurut aliran ini, hanyalah salinan yang kurang sempurna dari Ide yang sempurna itu. Para pendukung filsafat ini yang paling konsisten sepanjang sejarah kuno adalah Plato. Walau demikian, ia bukan merupakan pencipta idealisme, yang telah lahir sebelum jamannya.
Para pengikut Pythagoras percaya bahwa hakikat dari segala hal adalah Angka (satu pandangan yang agaknya dimiliki pula oleh beberapa ahli matematika modern). Para Pythagorean ini menunjukkan penghinaan terhadap dunia material secara umum dan tubuh manusia secara khusus, yang mereka pandang sebagai penjara di mana jiwa terperangkap. Pandangan ini memiliki kemiripan yang mengejutkan dengan pandangan-pandangan para biarawan abad pertengahan. Benar, mungkin saja bahwa Gereja mengambil banyak ide mereka dari kaum Pythagorean, Platonis dan Neo-Platonis. Hal ini tidaklah mengejutkan. Semua agama niscaya memiliki akar dalam pandangan idealis terhadap dunia. Perbedaannya adalah bahwa agama mempengaruhi emosi, dan mengaku menyediakan satu pemahaman yang mistis dan intuitif terhadap dunia (”Penglihatan”), sementara kebanyakan filsuf idealis berupaya menyajikan satu argumen yang logis untuk teori-teori mereka.
Pada dasarnya, bagaimanapun juga, akar dari segala bentuk idealisme adalah religius dan mistis. Kejijikan terhadap “dunia material kasar” dan pengangkatan “Ide” ke posisi yang tinggi mengalir langsung dari gejala yang telah kita lihat dalam hubungannya dengan agama. Bukanlah sebuah kebetulan jika idealisme Platonis berkembang di Athena ketika sistem perbudakan sedang berada dalam puncak kejayaannya. Kerja-kerja fisik, pada saat itu, dilihat secara harafiah sebagai sebuah penanda perbudakan. Satu-satunya kerja yang dapat dihargai adalah kerja-kerja intelektual. Secara hakiki, filsafat idealisme adalah satu produk dari pembedaan yang ekstrim antara kerja-kerja fisik dan mental yang telah hadir dari sejak menyingsingnya fajar sejarah sampai hari ini.
Sejarah filsafat Barat, walau demikian, tidak dimulai dengan idealisme melainkan dengan materialisme. Filsafat ini menunjukkan kepada kita persis kebalikan dari idealisme: bahwa dunia material, yang kita kenal dan jelajahi melalui ilmu pengetahuan, nyata adanya; bahwa satu-satunya dunia yang nyata adalah dunia material; bahwa pikiran, ide, dan perasaan adalah hasil dari materi yang terorganisir dalam cara tertentu (sistem syaraf dan otak); bahwa pikiran tidak dapat hadir dari dirinya sendiri, tapi hanya dapat timbul dari dunia objektif yang menyatakan dirinya kepada kita melalui alat-alat indera kita.
Para filsuf Yunani yang paling awal dikenal sebagai “hylozois” (dari bahasa Yunani, yang berarti “mereka yang percaya bahwa materi itu hidup”). Di sini kita mendapati sederetan panjang pahlawan yang mempelopori perkembangan pemikiran. Orang-orang Yunani menemukan bahwa dunia itu bulat, jauh sebelum Columbus. Mereka menerangkan bahwa manusia berevolusi dari ikan jauh sebelum Darwin. Mereka membuat penemuan-penemuan luar biasa dalam bidang matematik, yang tak diubah banyak selama satu setengah milenia. Mereka menemukan mekanika dan bahkan membuat satu mesin uap. Hal baru yang mengejutkan dalam cara memandang dunia ini adalah bahwa cara itu tidaklah religius. Berseberangan mutlak dengan orang-orang Mesir dan Babilonia, dari mana mereka banyak belajar, orang-orang Yunani tidaklah menyerahkan penjelasan atas gejala alam kepada para dewa dan dewi. Untuk pertama kalinya, manusia mencoba bekerjanya alam murni dengan mempelajari alam itu sendiri. Ini adalah satu dari titik balik terbesar dalam seluruh sejarah perkembangan pemikiran manusia. Ilmu pengetahuan yang sejati bermula di sini.
Aristoteles, yang terbesar dari seluruh filsuf jaman kuno, dapat dianggap seorang materialis, sekalipun ia tidaklah sekonsisten para hylozois pertama. Ia membuat serangkaian penemuan ilmiah yang merupakan basis bagi pencapaian-pencapaian besar sepanjang masa-masa Alexander.
Abad pertengahan yang menyusul runtuhnya Jaman Kuno adalah satu padang tandus di mana pemikiran ilmiah berdiri terkucil selama berabad-abad. Bukan satu kebetulan bahwa masa ini didominasi oleh Gereja. Idealisme adalah satu-satunya filsafat yang diperbolehkan, apakah itu dalam bentuk Platonis karikatural atau bahkan, lebih buruk lagi, satu penyimpangan atas filsafat Aristoteles.
Ilmu pengetahuan muncul kembali dengan jaya dalam masa Jaman Pencerahan. Di sana ia dipaksa untuk melancarkan perang yang ganas terhadap pengaruh agama (bukan hanya Katolik, melainkan juga Protestan). Banyak martir yang harus membayar harga kebebasan ilmiah dengan nyawanya sendiri. Giordano Bruno dibakar hidup-hidup di tiang bakaran. Galileo dua kali diadili oleh Pengadilan Inkuisisi, dan dipaksa dengan siksaan untuk meyangkal pandangan-pandangannya.
Kecenderungan filosofis yang dominan dalam Jaman Pencerahan adalah materialisme. Di Inggris, kecenderungan ini mengambil bentuk empirisisme, aliran pemikiran yang menyatakan bahwa semua pengetahuan merupakan turunan dari perasaan inderawi. Pelopor dari aliran ini adalah Francis Bacon (1561-1626), Thomas Hobbes (1588-1679) dan John Locke (1632-1704). Aliran materialis berkisar dari Inggris ke Perancis di mana ia memperoleh satu suntikan isi revolusioner. Di tangan Diderot, Rousseau, Holbach, dan Helvetius, filsafat menjadi satu alat untuk mengkritisi seluruh tatanan masyarakat yang ada. Para pemikir besar ini menyiapkan jalan untuk penggulingan revolusioner atas monarki feudal di tahun 1789-93.
Pandangan filosofis yang baru ini merangsang perkembangan ilmu pengetahuan, mendorong dilakukannya percobaan-percobaan dan pengamatan-pengamatan. Di abad ke-18 terjadilah satu kemajuan yang luar biasa dalam ilmu pengetahuan, terutama di bidang mekanika. Tapi fakta ini memiliki sisi negatif, seiring dengan sisi positifnya. Materialisme lama di abad ke-18 bersifat sempit dan kaku, suatu cerminan dari perkembangan ilmu pengetahuan yang masih terbatas. Newton menyatakan batasan empirisisme dalam kalimatnya yang terkenal, “Saya tidak membuat hipotese apapun.” Pandangan mekanis yang sepihak ini akhirnya terbukti fatal bagi materialisme lama. Secara paradoks, perkembangan terbesar dalam filsafat setelah 1700 justru dibuat oleh para filsuf idealis.
Di bawah pengaruh revolusi Perancis, filsuf idealis Jerman Immanuel Kant (1724-1804) meletakkan semua filsafat yang hadir sebelum jamannya ke bawah hujan badai kritisisme. Kant membuat penemuan-penemuan penting bukan hanya dalam filsafat dan logika tapi juga dalam bidang ilmu pengetahuan. Hipetesisnya tentang asal-usul alam semesta yang diperkirakannya berasal dari kabut gas nebula (yang kemudian diberi basis matematik oleh Laplace) sekarang secara umum diterima sebagai kebenaran. Di bidang filsafat, adikarya Kant The Critique of Pure Reason adalah karya pertama yang menganalisa bentuk-bentuk logika yang telah tinggal tak berubah setelah bentuk-bentuk itu dirumuskan pertama kali oleh Aristoteles. Kant menunjukkan kontradiksi yang secara implisit terdapat dalam kebanyakan proposisi mendasar filsafat. Walau demikian, ia gagal menyelesaikan kontradiksi-kontradiksi ini (”Antinomi”), dan akhirnya menarik kesimpulan bahwa mustahil kita mendapatkan kebenaran yang sejati tentang alam semesta. Walau kita dapat mengetahui apa yang nampak, kita tidak akan pernah tahu “apa yang ada di dalamnya”.
Ide ini bukanlah sesuatu yang baru. Ide ini adalah tema yang telah berulang berkali-kali dalam sejarah filsafat, dan merupakan apa yang dikenal dengan istilah idealisme subjektif. Ini dikemukakan sebelum Kant oleh seorang uskup dan filsuf dari Irlandia, George Berkeley, dan digemakan juga oleh empirisis klasik Inggris, David Hume. Argumen dasarnya dapat diringkaskan sebagai berikut: “Saya menginterpretasi dunia melalui indera saya. Dengan demikian, semua yang saya tahu benar-benar ada adalah citra yang ditangkap oleh indera saya. Dapatkah saya, contohnya, bersumpah bahwa sebuah apel benar-benar ada? Tidak. Apa yang saya dapat katakan adalah saya melihatnya, saya merasakannya, saya menciumnya, saya mengecapnya. Dengan demikian, saya tidak dapat benar-benar menyatakan bahwa dunia material benar-benar ada.” Logika dari idealisme subjektif adalah bahwa, jika saya menutup mata saya, dunia ini akan menghilang. Pada ujungnya, filsafat ini akan membawa kita pada solipisme (dari bahasa Latin “solo ipsus” – “saya sendiri”), ide bahwa hanya saya sendiri yang ada, yang lain tidak ada.
Ide ini mungkin tidak masuk nalar bagi kita, tapi mereka telah terbukti tetap bertahan. Melalui satu atau lain cara, prasangka idealisme subjektif telah merasuki bukan hanya filsafat tapi juga ilmu pengetahuan, bahkan pada sebagian besar abad ke-20. Kita akan melihat kecenderungan ini lebih lanjut di belakang.
Terobosan terbesar datang dalam dekade pertama abad ke-19 melalui George Wilhelm Hegel (1770-1831). Hegel adalah seorang filsuf idealis Jerman, seorang yang kejeniusannya menjulang setinggi langit, yang dengan efektif telah meringkas dalam tulisannya seluruh kesejarahan filsafat.
Hegel menunjukkan bahwa satu-satunya cara untuk mengatasi “Antinomi” Kant adalah dengan menerima bahwa kontradiksi itu benar-benar ada, bukan hanya dalam pemikiran, tapi juga dalam dunia nyata. Sebagai seorang idealis objektif, Hegel tidak mempedulikan argumen kaum idealis subjektif bahwa pikiran manusia tidak mungkin memahami dunia nyata. Bentuk-bentuk pikiran harus mencerminkan dunia objektif semirip mungkin. Proses pengetahuan mengandung satu penetrasi yang semakin lama semakin dalam menerobos realitas, maju dari yang abstrak ke yang kongkrit, dari yang diketahui ke yang tidak diketahui, dari yang khusus menuju yang umum.
Metode berpikir yang dialektik ini telah memainkan satu peran besar di Jaman Kuno, khususnya dalam ujar-ujar yang naif tapi brilian dari Heraclitus (c. 500 SM), tapi juga dalam pemikiran Aristoteles dan yang lain-lain. metode ini ditinggalkan di Abad Pertengahan, ketika Gereja mengubah logika formal Aristoteles menjadi dogma yang kaku dan mati. Metode ini tidak muncul-muncul lagi sampai Kant mengembalikannya ke tempat yang terhormat. Walau demikian, dalam filsafat Kant dialektika tidaklah menerima perlakuan yang cukup untuk memperkembangkannya. Tugas untuk membawa ilmu berpikir dialektik ke tingkat perkembangannya yang tertinggi jatuh ke tangan Hegel.
Kebesaran Hegel ditunjukkan oleh fakta bahwa hanya dia sendiri yang siap menantang filsafat mekanisme yang dominan pada masa itu. Filsafat dialektika Hegel mengurusi proses, bukan hal-hal yang saling terisolasi satu sama lain. Filsafat itu mengurusi segala hal dalam masa kehidupannya, bukan dalam kematiannya, dalam kesalingterhubungannya, bukan dalam kesalingterpisahannya. Ini adalah cara memandang dunia yang benar-benar modern dan ilmiah. Sesungguhnya, dalam banyak aspek, Hegel maju jauh lebih dahulu dari jamannya. Walau demikian, sekalipun ia memiliki pandangan yang sering gemilang, filsafat Hegel pada akhirnya tidaklah cukup memuaskan. Kekurangannya yang utama adalah sudut pandangnya yang idealis, yang menghalanginya dalam menerapkan metode dialektika pada dunia nyata dengan cara yang ilmiah dan konsisten. Bukannya mendapat dunia material, kita malah mendapat dunia Ide Absolut, di mana benda-benda nyata, proses dan manusia digantikan oleh bayangan-bayangan tak berbentuk. Mengutip Frederick Engels, dialektika Hegelian adalah filsafat yang paling abortif [gugur sebelum waktunya, pen.] sepanjang sejarah filsafat. Ide-ide yang tepat di sini terlihat berdiri di atas kepala mereka sendiri. Untuk menempatkan dialektika di atas pondasi yang kukuh, sangatlah penting untuk memutarbalikkan filsafat Hegel, untuk mengubah dialektika idealis menjadi materialisme dialektik. Yang ini adalah pencapaian besar dari Karl Marx dan Frederick Engels. Studi kita dimulai dengan satu ulasan ringkas tentang hukum-hukum dasar materialisme dialektik yang mereka kemukakan.
[i] Gordon Childe, What Happened in History, p. 19.
[ii] Ibid., pp. 19-20.
[iii] Sir James Frazer, The Golden Bough, p. 10.
[iv] Ibid., p. 105.
[v] Ludwig Feuerbach, The Essence of Christianity, p. 5.
[vi] Aristoteles, Metaphysics, p. 53.
[vii] I. Prigogine dan I. Stengers, Order Out of Chaos, Man’s New Dialogue with Nature, p. 4.
[viii] Dikutip dalam Margaret Donaldson, Children’s Mind, p. 84.
[ix] Oeconomics, iv, 203, dikutip dalam B. Farrington, Greek Science, pp. 28-9.
[x] Feuerbach, op. cit., pp. 204-5
[xi] Dikutip dalam A. R. Burn, Pelican History of Greece, p. 132.
[xii] G. Childe, Man Makes Himself, pp. 107-8.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar