Selasa, 10 Agustus 2010
Kepahitan Hidup
Terakhir kali saya bertemu Annie sekitar 6 bulan lalu, tetapi rasanya seperti baru beberapa minggu. Kemarin saat menghadiri pesta, saya bertemu lagi dengannya, ia menyapa saya dengan ramah seperti biasa tetapi pada awalnya saya tidak tahu ia adalah Annie.
Enam bulan lalu saat bertemu dengannya wajahnya masih nampak segar dan ceria, namun kini wajahnya telah berubah sama sekali, saat saya menatap matanya baru menyadari ia adalah Annie, teman lama kami.
Penampilannya yang berubah total sempat membuat saya terkejut, dan mungkin hal ini dapat terbaca dari raut wajah saya saat itu. Tanpa saya bertanya lebih jauh, Annie menceritakan apa yang telah menimpanya. Enam bulan setelah pertemuan kami yang terakhir, dia mendapatkan tumor pada dada kanannya. Menurut dokter yang memeriksanya, tumor itu tidak ganas, tapi agak mengganggu maka dokter menyarankan untuk dioperasi.
Karena uang bukan masalah, tanpa pikir panjang Annie akhirnya setuju melakukan operasi. Ia memilih operasi di Shanghai, karena mengira kedokteran China lebih maju. Dengan mantap ia menjalani operasi, tetapi hasilnya sungguh membuatnya terkejut, mulutnya miring, wajahnya nampak aneh. Saat pertama melihat wajahnya di cermin, Annie jatuh pingsan.
Menurut pengakuan dokter, saat operasi pengambilan tumor telah mengenai salah satu syaraf wajah yang posisinya berdekatan dengan tumor.
Annie merasa shock, selama beberapa bulan ia selalu menangis, meratapi apa yang terjadi pada dirinya. Tubuhnya yang sebelumnya agak gemuk jadi kurus. Beruntung keadaan ini tidak berlanjut terus. Atas nasihat seorang teman, akhirnya ia sadar bahwa tidak boleh larut dalam kepedihan, harus bangkit dan tegar menghadapi kenyataan yang pahit ini.
Ia melihat banyak orang, terutama orang dekatnya ikut merasakan dampaknya. Prestasi belajar anak-anak jadi menurun, suami tidak dapat konsentrasi dalam bekerja, orang tua prihatin sehingga nampak loyo, dan dirinya yang terbiasa aktif menangani sejumlah kegiatan sosial, terpaksa dihentikan.
Annie sadar, bahwa dengan cacat wajah saja, ia masih terhitung jauh lebih beruntung daripada orang-orang yang benar-benar sekarat karena penyakit yang mereka derita. Boleh dikata mereka sudah tidak dapat berbuat dan beraktivitas sesuai kehendak mereka, sedang Annie masih memiliki kemampuan itu. Ia masih dapat melakukan kegiatan yang berguna bagi orang lain. Kehidupan terus berjalan, banyak orang sedang berharap ia dapat hidup seperti semula, penuh keceriaan dan menularkan kebahagiaan kepada orang lain.
Dalam hati ia bertekad untuk menjadi tauladan bagi orang lain, tidak akan putus asa hanya karena hal kecil, hanya karena kehilangan kemolekan wajah. Sesungguhnya yang terpenting adalah hati manusia. Tanpa memiliki kemolekan wajah ataupun tubuh, tetapi bila hati seseorang dipenuhi dengan belas kasih maka siapa pun akan tersentuh dan kagum pada dirinya.
Annie yang saya temui enam bulan lalu bagaikan gadis remaja yang penuh keceriaan hidup, yang membuat semua orang kagum padanya. Tetapi bagi saya, Annie yang saya temui kemarin lebih mengagumkan, ia menjadi sosok perempuan bersahaja yang tegar dan penuh kematangan hidup.
Dari perasaan terkejut sesaat, langsung beralih pada perasaan kagum yang luar biasa. Karena sebelumnya saya telah menjumpai banyak sekali kasus serupa, tetapi hampir semua "pemeran"-nya jatuh pada keputus-asaan hidup. Mereka tidak menyadari hakekat kehidupan yang diberikan Sang Pencipta kepada mereka, tidak dapat melewati ujian dan menyia-nyiakan kesempatan berharga yang diberikan kepada mereka.
Sesungguhnya manusia hidup di dunia memang demikian, setiap orang harus menghadapi kepahitan hidup, melewati tantangan hidup, kesengsaraan dan penderitaan, meski waktu dan kadar yang dialami setiap orang tidak sama. Tetapi dari apa yang saya lihat dan alami selama hampir setengah abad ini, saya mendapatkan hikmah bahwa apa yang dipandang sebagai malapetaka atau penderitaan oleh orang, jika orang itu dapat menyikapinya dengan benar sesungguhnya itu malah merupakan suatu berkah, berkah tersembunyi, "Blessing in Disguise".
Saya teringat seorang teman pernah bercerita pada awal sepeninggal ayahnya, ia menjadi stres karena tidak memiliki biaya untuk melanjutkan kuliah. Tetapi kondisi ini telah memberinya motivasi untuk mendapatkan beasiswa sehingga memacunya untuk gigih belajar, dan akhirnya ia dapat lulus dengan nilai cumlaude sehingga banyak perusahaan besar menawarkan pekerjaan dengan posisi dan gaji yang cukup tinggi. Kini ia telah menjadi seorang pengusaha yang sukses.
Seorang teman lain sangat sedih saat pacarnya meninggalkan dirinya. Tetapi di kemudian hari, ia mengetahui mantan pacarnya itu punya perilaku yang sangat tidak baik, ia bersyukur bahwa ia bukanlah istri mantan pacarnya itu. Sejak itu, ia menjadi lebih bijak dalam berteman, dan akhirnya mendapatkan pasangan hidup yang sungguh-sungguh menyayanginya.
Dulu orang tua saya cukup kaya, kemudian karena menderita sakit yang cukup lama, akhirnya kekayaan itu pun jadi menipis. Dari kondisi yang serba ada, sekarang tanpa penghasilan, mau tak mau telah mempengaruhi gaya hidup kami.
Saat itu saya benar-benar dalam kondisi shock berat, sedih melihat ayah yang tak berdaya di atas ranjang, tetapi karena dengan bersedih saja juga tidak akan menyelesaikan masalah, maka saya beranikan diri mencari kerja sambil kuliah. Menoleh balik ke masa itu, saya mendapatkan bahwa penderitaan telah menempa diri saya menjadi orang yang tegar, membuat diri saya memiliki wawasan yang lebih luas dalam memandang kehidupan.
Seperti halnya diri saya dan kedua teman saya di atas, Annie juga memperoleh faedah atas kemalangan yang menimpanya. Ia menjadi lebih matang, lebih toleran dan lebih bisa menghargai hidup ini.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar