Pages

Jumat, 10 September 2010

Hati Suci Membuat Panjang Umur


Pada zaman dahulu di China, orang yang setia dan berkeadilan tidak hanya menepati janji, melainkan juga memandang ringan keuntungan serta mementingkan keadilan, menjauhi nafsu terhadap perempuan.

Di dalam cerita Sam Kok, Jenderal Guan Yu demi melindungi keluarga Liu Bei, terpaksa menyerah sementara kepada Cao Cao. Setelah itu demi menarik Guan Yu agar memihak kepada dirinya, Cao Cao mengadakan pesta jamuan di Ibukota Xu Chang, tiga hari jamuan kecil dan lima hari jamuan besar. Tiada angin hujan ia menghadiahi Jenderal Guan Yu dengan emas dan perak, juga menghantarkan sepuluh perempuan cantik.

Namun hati Jenderal Guan ini bagaikan terbuat dari besi dan batu, di depan asas keadilan memandang ringan harta dan perempuan, tetap mempertahankan, "Saya Jenderal Guan jika mengetahui keberadaan paman raja (Liu Bei), walaupun harus melalui api dan air, saya pasti menggabungkan diri dengan Liu Bei."

Cao Cao demi mengacaukan tata krama antara raja dan patih, dia membiarkan Jenderal Guan tinggal bersama dengan dua kakak iparnya. Namun di dalam hati Jenderal Guan terkandung rasa kesetiaan dan keadilan, dia tetap berdiri berjaga di luar ruangan  dengan menggegam lilin di tangan, dari malam hingga pagi hari, sama sekali tidak terlihat lelah.

Setiap kali ketika saya membaca cerita Sam Kok sampai babak ini, acapkali saya menutup buku dan menghela nafas: Harta dan perempuan hanya bisa membujuk dan memikat manusia vulgar, tetapi selamanya tidak akan menggerakkan hati manusia yang berpegang pada keadilan!
Ji Xiao Lan seorang sastrawan pada zaman Dinasti Qing, di dalam karyanya yang berjudul Yue Wei Cao Tang Bi Ji, mencatat kisah seorang manusia biasa yang mendermakan hartanya untuk menolong orang, serta tidak tergoyahkan oleh godaan perempuan.

Buku itu menceritakan, dahulu di Kabupaten Xian tinggal seorang yang bermarga Shi, suatu hari ketika dia keluar dari tempat perjudian dan akan pulang ke rumah, berjalan sampai di sebuah pasar pekan, dia melihat satu keluarga yang datang dari desa: suami, isteri dan  bayinya, tiga orang tersebut sedang berpelukan dan menangis dengan sedih.

Seorang tetangga yang tinggal dekat rumahnya mengatakan pada Lao Shi, "Karena mereka telah berhutang kepada lintah darat, suaminya akan menjual isterinya untuk membayar hutang. Pasangan suami isteri itu sehari-hari saling mengasihi dan mendalam, mereka berat untuk berpisah, ditambah lagi dengan anaknya yang masih menyusui, ketika terpikir mereka akan segera berpisah, maka mereka bersedih hati."

Lao Shi bergerak maju dan bertanya, "Berapakah hutang Anda?" Suami itu menjawab, "30 tail emas."

Lao Shi bertanya lagi, "Istrimu akan dijual berapa?" Suami itu menjawab, "Hendak dijual 50 tail emas, menjadi selir orang lain."

Lao Shi bertanya lagi, "Bisakah untuk tidak menjualnya dan menebus dia kembali?" Suami itu menjawab, "Baru saja menulis surat perjanjian, uangnya belum dibayar, surat juga belum ditanda tangani, seharusnya bisa ditebus kembali."

Lao Shi segera mengeluarkan uang sejumlah 70 tail emas yang baru saja dia menangkan dari tempat perjudian, dia serahkan uang itu kepada sang suami serta berkata, "Saya memberi kalian 30 tail emas untuk membayar hutang, saya berikan lagi 40 tail emas kepada kalian untuk menanggung kehidupan kalian. Harap jangan menjual isteri Anda."

Setelah mendapatkan uang sejumlah 70 tail emas, suami isteri itu merasa sangat berterima kasih kepada Lao Shi. Kemudian mereka mengundang Lao Shi untuk datang ke rumah mereka, memasak ayam dan menghidangkan arak, menjamu dan melayani Lao Shi dengan ramah tamah.

Sang suami mengambil kesempatan menggendong pergi bayinya, memberikan isyarat mata kepada isterinya, agar membalas budi dengan menyerahkan diri kepada Lao Shi. Isterinya menganggukkan kepala, dan memberikan isyarat kepada Lao Shi.

Setelah Lao Shi mengetahui gelagat tersebut, dia segera berkata dengan nada serius dan khidmat, "Saya Lao Shi dulu pernah menjadi perampok, kemudian menjadi polisi. Membunuh orang tidak pernah berkedip.

Sekarang jika saya mengambil untung dari orang yang sedang dalam bahaya, menodai perempuan orang lain, maka saya adalah manusia yang tidak berperikemanusiaan. Masalah ini, sebenarnya tidak boleh dilakukan!" Dengan tidak berkata lebih banyak, dia memalingkan kepala dan pergi meninggalkan mereka berdua.

Setengah bulan kemudian, tempat tinggal Lao Shi, mengalami kebakaran di tengah malam. Saat itu tepat masa panen di musim gugur, setiap rumah di atas maupun di bawah atap, penuh dengan tumpukan kayu dan padi.

Tiupan angin membantu kobaran api, kobaran api yang membara di sekeliling rumah. Sekeluarga Lao Shi yang berjumlah tiga orang, memperkirakan tidak akan bisa lolos dari petaka ini, dia terpaksa duduk bersama isteri dan anaknya menunggu ajal menjemput.

Mendadak mereka mendengar suara yang datang dari langit, "Dewa Dong Yu mengeluarkan dokumen penting yang menerangkan: segera, diantara keluarga yang semula ditetapkan rumahnya akan terbakar hangus, keluarga Lao Shi harus diberi perkecualian, tidak boleh membakar rumah Lao Shi."

Selanjutnya terdengar dentuman yang sangat keras, tembok di belakang pekarangan Lao Shi runtuh menjadi satu lubang yang besar, Lao Shi dengan tangan kiri menggandeng tangan isteri, tangan kanan menggendong anaknya, melompat keluar bagaikan tubuhnya bersayap, hanya sekali lompatan sudah melesat sangat jauh sekali.

Menunggu kobaran api telah padam, mereka memeriksa jumlah korban, yang mati karena terbakar mencapai 90% dari jumlah korban keseluruhan. Hanya Lao Shi sekeluarga yang terselamatkan. Berbagai benda yang berada di dalam rumahnya, tidak ada satu pun yang rusak terbakar.

Dari sini dapat kita lihat, asas keadilan memandang ringan harta dan perempuan, hati yang suci bersih membuat panjang umur. Menolong orang lain sama dengan menolong diri sendiri, menjauhi kemaksiatan hati akan menjadi suci dan bersih secara otomatis moralitasnya juga tinggi.

Dalam alam ketidaktahuan, perbuatan baik dan buruk pasti ada balasannya, ketika bencana besar sedang hadir tentu ada dewa yang akan melindungi orang baik.

Bagi seorang kultivator (orang yang selalu menempa dan mematut diri meningkatkan moralitas), membuang keinginan hati terhadap keuntungan, mencampakkan nafsu birahi yang mengganggu, juga merupakan kunci untuk melepaskan keterikatan hati.

Dalam menyikapi masalah "memperoleh dan kehilangan" akan nama dan keuntungan, serta gangguan nafsu birahi yang berada dalam dunia, dapat tidaknya Anda menghadapinya dengan hati biasa yang hambar, ataukah senantiasa memimpikannya, selalu tidak bisa melupakan, kedua pilihan tersebut, merupakan ujian bagi tinggi rendahnya taraf pikiran dari seseorang.

Terlibat oleh nama, terikat oleh keuntungan, tersesat oleh nafsu keinginan semua ini adalah perbuatan dari manusia vulgar, seorang kultivator yang sesungguhnya akan mengasuh hati dan memutuskan segala keinginan, meski tubuh berada di dalam dunia, sedangkan hatinya berada di luar duniawi, menghadapi keinginan akan keuntungan dan godaan nafsu birahi hati tenang bagaikan air, sama sekali tidak tergoyahkan, itu merupakan semacam taraf pencapaian mental yang melampaui orang biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...