Pages

Kamis, 09 September 2010

Bukannya Ibu Tidak Mengasihiku


Ketika bercengkrama dengan teman membicarakan ibu masing-masing, tanpa terasa teringat kembali pada saat masih tinggal bersama ibu.

Selama ini saya belum bisa memahami, mengapa watak perangai saya jauh berbeda dengan ibu, hampir tak ada kecocokan sama sekali. Mungkin ini merupakan penyebab pokok timbulnya "peperangan yang silih berganti" antara ibu dan anak!

Ibu adalah tipe istri yang tahan terhadap segala kesulitan, akan tetapi terhadap dirinya sendiri dan keluarga selalu kurang berhati-hati. Jika berbicara masalah keluhuran budi, maka beliau masuk dalam kategori ini.

Ibu sangat berbakti pada kakek dan nenek, terhadap hal-hal besar maupun kecil yang terjadi dalam keluarga, ibu sangat memperhatikannya. Akan tetapi cinta kasih yang diberikan Ibu kepada kami selama ini, bertolak belakang dengan cinta kasih figur ibu idaman saya.

Dalam ingatan saya, benda apa-pun yang saya inginkan, selamanya tak pernah ibu belikan, dan ketika saya sudah tak menginginkannya lagi, dia baru membelikan benda itu kepada saya. Seperti di saat  saya menginginkan sebuah gaun, maka harus menunggu sampai zamannya sudah lewat, baru ibu membelikannya.

Saat menghadapi orang lain tabiat saya sangat baik, juga sangat berlapang dada, tetapi begitu saya menghadapi Ibu, perbincangan yang awalnya baik-baik saja, kerapkali bisa berubah jadi ajang pertengkaran.

Melihat kembali catatan buku harian saya, seringkali saya  menulis: "Dalam kehidupan ini, saya haus kasih sayang seorang Ibu."

Setelah berangsur-angsur tumbuh dewasa, saya belajar bagaimana menunjukkan pengertian dan simpati serta toleransi terhadap sifat ibu. Manusia memang tak ada yang sempurna, pada aspek lain beliau memang sangat baik, hanya dalam hal kelembutan, nilainya tak terlalu baik. Oleh karena itu saya juga tidak menuntutnya lagi.

Pengaturan Sang Pencipta selalu sulit untuk ditebak dan dijabarkan. Di saat saya sudah tak lagi menuntut cinta kasih kelembutan seorang ibu ideal idaman saya, malah bertemu dengan ibu mertua saya.

Perhatian ibu mertua saya terhadap saya, persis seperti kelembutan cinta kasih yang selalu saya dambakan selama ini. Di kemudian hari, ibu mertua saya pernah menyebutkan bahwa ketika dia kali pertama bertemu saya, sudah merasakan suatu kehangatan di dalam hati, bagaikan anak perempuan kandungnya sendiri.

Benar-benar nasib! Di saat saya tak mendapatkan hubungan yang sempurna antara ibu dan anak, saya justru memiliki hubungan yang sangat harmonis dengan ibu mertua.

Sedangkan "ketidak-cocokan" antara saya dengan ibu, mungkin memang suatu suratan takdir untuk saling menempa diri! Seperti halnya sejumlah pasangan suami istri yang suka bertengkar seumur hidup.

Tetapi jika ditelaah dengan seksama, meski saya dan ibu tak ada kecocokan pemahaman, tetapi kami juga sudah pernah berusaha untuk melewati berbagai rintangan atau kesulitan secara bersama. Dalam hal tersebut, antara ibu dan anak baru bisa mencapai suatu kesepakatan bersama, mungkin demikian sudah cukup.

Benar, beliau memang tidak menggunakan cara yang saya harapkan untuk mencintai saya, tetapi hal tersebut tidak berarti beliau tidak mencintai saya. Seandainya manusia benar-benar dewasa dalam menemui suatu perbedaan, maka melalui gejala permukaan seharusnya ia dapat melihat hakekat dari permasalahan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...