Tahukah Anda, sikap kita sewaktu berbelanja atau shopping di supermarket itu diam-diam diawasi? Tindak-tanduk kita direkam? Dipakai sebagai bahan studi?
Dari situlah muncul berbagai hasil penelitian yang dipakai supermarket untuk menjaring lebih banyak konsumen. Salah dua hasilnya: (1) Konsumen akan pusing jika dihadapkan pada terlalu banyak pilihan; (2) Lebih dari 70% keputusan untuk membeli dilakukan secara spontan. Pada akhirnya kita membeli lebih banyak daripada yang direncanakan! Mengapa demikian? Simak fakta dan informasi yang mengejutkan ini!
Pernahkah, atau seberapa sering Anda tatkala sampai di rumah sehabis pulang dari belanja di supermarket, heran saat mengeluarkan barang belanjaan? Rencana semula cuma mau beli bawang, sabun cuci, dan buah apel. Ternyata Anda juga membeli beberapa jenis snack, 2 bungkus besar permen karet, bermacam benda ini-itu, dan selusin batere yang ditawarkan dengan harga obral.
Jangan tercengang. Anda sudah terjaring ilmu marketing modern. Sikap berbelanja kita sudah tepat pas, menurut aturan pemasaran di supermarket, hasil riset bertahun-tahun para ahlinya. Diawali oleh penelitian Prof. Herb Sorensen, jagonya ilmu penjualan di supermarket besar seluruh dunia. Uang belanja yang rencananya maksimal Rp 50 ribu, tersedot lebih dari Rp 100 ribu di kasir.
Sekitar 70% keputusan untuk membeli, kita lakukan secara spontan. Itulah hasil riset hebat para pakar marketing dan periset shopping. Tujuan mereka cuma satu: mendesain supermarket demikian rupa, sehingga kastemer membeli lebih banyak dari yang direncanakan. Karena itu mayoritas supermarket dirancang sesuai petunjuk para suhu ilmu penjualan.
Ilmu bidang ekonomi itu disebut Perilaku Konsumen. Termasuk di dalamnya: iming-iming berwujud voucher belanja yang sepintas terlihat murah menggiurkan. Sampai kita membaca tulisan kecil di bagian bawah yang bunyinya “syarat dan ketentuan berlaku”. Tapi, Who cares? (siapa peduli), demikianlah terjadi sesuai dengan maksud para suhu perilaku konsumen. Kita akan menggapai peluang membeli berbagai keperluan yang tidak perlu dengan harga yang, menurut kita, murah meriah.
Beragam Barang Pembangkit Minat Untuk Membeli
Sebagai konsumen rasional, biasanya kita membandingkan harga dan tipe barang, sebelum meletakkannya dalam keranjang belanjaan. Semakin banyak pilihan semakin bagus. Sesungguhnya konsumen rasional seperti inilah yang diinginkan para suhu perilaku konsumen!
Situasi inilah yang jadi obyek penelitian salah satu guru besar perilaku konsumen, Dr.Sheena Iyengar dari Columbia University. Beliau melakukan tes, apakah kastemer akan membeli lebih banyak, jika barang pilihannya dibuat beragam.
Di salah satu supermarket raksasa di San Francisco, Dr.Sheena merancang sebuah rak yang diisi dengan bermacam merek selai, berganti-ganti antara 6 macam dan 24 jenis selai. Jika rak diisi dengan 6 macam selai, hanya maksimal 40% customer yang berhenti untuk melihat lebih jelas.
Jika rak diisi dengan 24 jenis selai, jumlah kastemernya 60% lebih banyak. Melihat belum tentu membeli. customer yang mengamati 24 jenis selai, pada akhirnya hanya 3% yang benar-benar membeli.
Jika ragam selainya 6 macam, maka 30% customer akan jadi pembeli betulan. Kesimpulan: terlalu banyak tipe barang yang ditawarkan justru akan jadi bumerang. Hasil akhir riset: maksimal 10 jenis barang serupa sudah cukup untuk dipajang di rak penjualan, jangan lebih.
Kebiasaan Membuat Iklan Nyaris Sia-sia
Produsen memanfaatkan kebiasaan pembeli ini dengan menyediakan jenis barang secara terbatas. Namun mayoritas supermarket biasanya menyediakan aneka ragam jenis barang, yang membuat kita bingung memastikan pilihan. Sebab itu kita sebagai pembeli harus mengembangkan strategi guna mengatasi luberan informasi tersebut.
Empat Fase Konsumerisme
Apa pun yang diinginkan pembeli dan apa saja yang mereka beli, berkembang dengan pola yang sama di seluruh dunia, demikian pencerahan yang didapat Patrick Bernau, jurnalis ekonomi Jerman. Pengertian itu dapat digunakan pada seluruh jenis barang konsumsi, mulai dari makanan sampai peralatan elektris. Tentu saja barang-barang hasil produksi itu dari waktu ke waktu akan lebih bagus, lebih ergonomis, dsb.
Fase pertama, pembeli dengan penghasilan pas-pasan butuh barang primer apa saja agar bisa tetap hidup.
Fase kedua, jika kondisi keuangan pembeli membaik, mereka akan melihat kualitas barang yang akan dibeli.
Fase ketiga, pembeli akan mengedepankan faktor kenyamanan. Di Indonesia (diawali di kota-kota besar) kita berada dalam fase ini, seiring dengan munculnya supermarket dan mall yang nyaman.
Fase keempat dan terakhir: pembeli menghendaki barang yang spesifik buat mereka. Apakah ada fase kelima dan seterusnya, masih belum diteliti. Beberapa negara melewati keempat fase itu lebih cepat daripada negara lain.
Ekonom Dr. Dan Ariely dari Duke University (North Carolina) telah menemukan, bahwa bagian terbesar keputusan kita bukanlah membandingkan harga dan produk, melainkan pada kebiasaan. Seandainya kita terbiasa membeli kecap dengan merek tertentu, maka kita akan senantiasa membeli merek kecap yang sama.
Tanpa pikir panjang. Jika kita sudah cinta pada produk mie instan tertentu, sampai di puncak gunung pun yang kita bawa sebagai bekal yah merek mie kesayangan tersebut. Pindah ke merek lain? Sulit!
Di sisi lain, iklan tentunya dibuat untuk menghadang kebiasaan pembeli: “beli produk baru ini – lupakan produk (pesaing)”. Nah, perlu upaya sangat keras dan jitu bagi produsen pesaing untuk mendobrak kebiasaan pembeli. Mayoritasnya dengan iming-iming berhadiah, atau produk yang lebih besar dengan harga sama.
Asosiasi Emosional Mengarahkan Pembeli Pada Keputusan Irasional
Alasan mengapa kita membeli bermacam-macam barang tidak sesuai dengan hukum ekonomi klasik: yaitu membeli hanya berdasarkan nilai produk. Yang bisa dipastikan, kita sebagai pembeli perlu kategori lain guna memastikan keputusan untuk membeli.
Mayoritas dari kita erat berhubungan dengan lingkungan sosial: kita anggap bagus, apa-apa yang dibeli teman. Asosiasi emosional itu sangat signifikan efeknya, bahkan kerap membuat keputusan irasional.
Kita ini berorientasi dengan mengacu harga barang tertentu di supermarket, untuk menemukan apa yang bagi kita masuk akal. Para marketer toko kecil tahu bagaimana caranya memanfaatkan itu. Selain barang standar di supermarket yang dipajang di rak penjualan, mereka meletakkan pula barang serupa merek lain yang lebih mahal. Tujuannya? Meningkatkan harga dasar untuk produk sejenis.
Musik dan Bau Harum Meningkatkan Penjualan
Percaya atau tidak. Pembeli pria maupun wanita itu sama-sama berperilaku irasional. Bagi pria masih berlaku pameo ini: seks itu penarik nomor satu. Barang yang ditawarkan oleh SPG cantik gampang dibeli oleh pria.
Tidak demikian dengan wanita: barang yang dijajakan oleh pria ganteng belum tentu akan dibeli wanita. Tetapi produk yang dibungkus rapi nan indah? Inilah penarik nomor satu bagi para pembeli wanita!
Apalagi jika mereka dibolehkan menyentuh barang dan membandingkannya satu sama lain. Wah, bakal laris! Hal ini pernah dibuktikan dalam penelitian oleh periset Willy Schneider dan Alexander Hennig dari Cooperative Institute Baden-Württemberg.
Tidak tergantung dari jenis kelamin para pembeli, kita semua bereaksi terhadap warna barang atau pembungkusnya. Percayalah: warna merah dan kuning memancarkan sugesti bagi kastemer untuk membeli. Tidak peduli, teks apa yang tercantum di barang atau pembungkus tersebut. Aneh tapi nyata!
Satu lagi, semoga para marketer mall memperhatikan ini: alunan musik yang tidak terlalu keras (sekitar 72 ketukan per menit) ditambah bau harum tertentu (yang sayup-sayup menyentuh hidung, tidak boleh terlalu tajam menyengat) akan meningkatkan nafsu untuk membeli.
Disertai sebuah peringatan: hati-hati dengan bebauan harum tertentu karena bisa saja ada pembeli yang alergi terhadapnya. Dengan berbagai irasionalitas itu, tidak heran jika kita membeli sedikitnya 20% lebih banyak dari yang semula direncanakan. Mengapa bisa demikian, belum pernah diteliti para periset. Ada lagi fakta yang aneh: mayoritas calon pembeli di mall akan berjalan melawan arah jarum jam, menuju kasir! Apakah Anda pernah menyadarinya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar