Jumat, 10 September 2010
Mencari hikmah dan kebaikan dari suatu permasalahan memang terbukti ampuh
Setiap orang pada titik tertentu dalam hidupnya pasti akan mengalami peristiwa yang tidak menyenangkan. Bentuknya bisa bermacam-macam: bisa karena sakit keras, berpisah dengan pasangan atau keluarga, dikhianati teman atau saudara, difitnah dan dibohongi, ataupun itu, Anda mungkin sudah pernah mengalaminya.
Normalnya, peristiwa semacam itu akan membuat seseorang merasa kesal, sedih, gusar, dendam barangkali, atau merasa beragam emosi negatif lain. Banyak yang kemudian berandai-andai, “Andai saja aku kemarin tidak melakukan”, “Andai saja kemarin saya” dan berharap apa yang sudah terjadi cuma sekedar mimpi. Ada juga yang kemudian menyimpan rasa dongkol dan entah terpengaruh sinetron atau apa lantas memikirkan skenario balas dendam atau semacamnya.
Memang sabar adalah jawabannya, begitu yang sering kita dengar. Tapi tentu saja, ini jauh lebih mudah untuk dikatakan ketimbang dijalani. Kita tidak bisa semudah itu meminta perasaan kita menuruti apa kata buku atau mereka yang lebih bijaksana ketimbang kita.
Satu cara yang biasanya terkenal efektif untuk meredakan dongkol adalah dengan melakukan apa-apa yang sama sekali ndak nyambung, tidak relevan dengan apa yang membuat yang bersangkutan gusar.
Melihat film lucu, pergi jalan-jalan bersama teman, bermain bersama anak dan keluarga, bermain dengan hewan piaraan, bermain scrabble atau mengisi TTS yang sukar, ataupun yang lainnya. Itu semacam mencari pengalih perhatian dari kegusaran. Meskipun hal semacam itu cukup berhasil untuk mengatasi permasalahan emosi yang ringan, namun untuk masalah yang berat, biasanya cara-cara semacam itu kuranglah ampuh.
Anda mustinya sudah sering dinasehati bahwa manakala masalah atau gagal datang pada diri Anda, maka carilah hikmah darinya. Anda mungkin juga pernah menasehatkan hal semacam ini kepada teman Anda. Tapi mari kita lihat nasehat ini dengan lebih kritis, dengan melihat hasil penelitian terkait hal ini.
Mencari hikmah (benefit finding) dari permasalahan ternyata terbukti bisa menyembuhkan emosi dari orang-orang yang terkena musibah kebakaran atas harta benda mereka, menderita sakit yang amat parah, bahkan yang didakwa terkena penyakit mematikan (1).
Salah satunya adalah sebagaimana yang dilakukan oleh Michael McCullough dan rekan-rekannya dari Universitas Miami (2). Lebih dari 300 mahasiswa pertama ditanya tentang peristiwa yang pernah terjadi dalam kehidupan mereka di mana ada seseorang pernah melukai dan menyerang diri mereka, apapun itu bentuknya.
Sepertiga dari partisipan lalu diminta untuk menghabiskan beberapa menit menceritakan kejadiannya secara rinci, berfokus pada betapa marah perasaan mereka dan bagaimana pengalaman itu telah berikan dampak yang buruk bagi kehidupan mereka. Kelompok kedua juga diminta melakukan hal yang sama, namun fokusnya pada hikmah, keuntungan, atau benefit yang didapat dari pengalaman itu; entah menjadi insan yang lebih bijaksana ataupun yang lain. Kelompok ketiga sekedar diminta untuk menjabarkan rencana aktivitas mereka untuk keesokan harinya.
Di akhir studi, setiap orang diminta untuk mengisi kuesioner yang mengukur bagaimana pikiran dan perasaan mereka terhadap orang yang telah melukai mereka. Hasil dari aktivitas mencari hikmah dari pengalaman buruk ternyata membantu partisipan mengatasi marah dongkol akibat situasi mereka itu. Mereka menjadi lebih pemaaf terhadap dia yang telah melukai mereka, dan kecil sekali keinginan untuk membalas dendam atau sekedar menjauhi mereka.
Menariknya, bahkan penemuan hikmah ini bisa jadi dirasakan tanpa seseorang dengan sangat keras memaksudkannya untuk itu. Semisal, hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa sifat baik seperti rasa syukur, harapan positif, kepemimpinan, gotong royong di Amerika menjadi meningkat setelah terjadinya peristiwa serangan teroris 9/11 (3). Selain itu, ada juga penelitian yang menunjukkan bahwa tatkala seseorang mengalami sakit keras, itu akan membuat banyak hal baik dari dirinya yang muncul dan bertambah, semisal saja keberanian, sikap adil, selera humor, dan penghargaan pada keindahan dan kecantikan (4).
Jika sedang marah, menonjok sansak (atau seseorang) sebenarnya tidak membantu, melainkan malah memperparah. Begitu juga dengan menggunakan kata makian (ada risetnya, namun saya belum berhasil menemukan lagi di mana referensinya). Sesungguhnya pilihan kosakata yang terucap akan berpengaruh betul pada bagaimana emosi yang kita rasa.
Maka ketika sedang dongkol, alih alih mengatakan $*!%7@* (whatever it is), coba ucapkan: “PriKiTiW!!” yang mana tampak tidak relevan untuk mewakilkan rasa geram. Tapi justru itu tujuannya: menurunkan intensitas emosi dengan kata. Alih-alih berkata, “aku juengkel bianget; benci benci benci!” ucapkan, “Aku ngerasa geli ama orang itu”.
Marah, dongkol dan gemes sedih itu tak mengapa; rasakan saja itu, yang penting jangan berlama-lama. Anda tahu betul betapa masalah telah sedikit banyak kian menghebatkan Anda: jadi lebih sadar potensi, jadi lebih menghargai aspek tertentu dalam hidup, lebih menghargai hubungan tertentu, lebih bijaksana, lebih terampil dalam mengkomunikasikan pikiran dan emosi, lebih pemaaf, dan segala yang melebihkan kualitas diri Anda.
Jika saja Tuhan tidak peduli pada kita, tentu Beliau tak akan datangkan ‘hadiah’ itu kepada kita. Semua yang menimpa kita, itu tidaklah salah sasaran. Tatkala kita belum bisa membuat kualitas diri kita lebih besar ketimbang masalah yang menimpa, Tuhan akan membuat kita tertimpa masalah yang sama; persis ibarat mengulang mata kuliah.
Marah itu tak mengapa, yang penting jaga lisan dan tindakan di kala itu, dan jangan berlama-lama dengan perasaan itu. Jangan lupa pastikan diri belajar dari kegalauan dan masalah Anda.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar