Selasa, 14 September 2010
Berapa besarnya gaji agar bahagia
Prof. Daniel Kahneman (pemenang hadiah Nobel 2002 untuk Ekonomi, guru besar di University of California, Berkeley dan Princeton University) menyatakan, bahwa manusia yang berpenghasilan besar itu Lebih Bahagia dibandingkan mereka yang berpenghasilan lebih rendah atau pas-pasan.
Bersama dengan ekonom Prof. Angus Stewart Deaton dari Princeton University, ia juga menemukan bahwa batasan tertinggi kebahagiaan adalah mereka yang berpenghasilan U$ 6.250/bulan. Ini untuk warga AS lho! Yang mungkin tidak Anda sangka, penghasilan yang lebih tinggi daripada U$ 6.250/ bulan justru tidak akan meningkatkan kebahagiaan dan kepuasan hidup seseorang. Sekali lagi, ini di AS sana.
Sebaliknya kemiskinan akan membuat manusia tidak puas dan tidak bahagia. Orang miskin merasakan derita yang lebih hebat pada perceraian, sakit, atau kesepian dibandingkan manusia dengan penghasilan cukup atau orang kaya.
Kesimpulan itu didapat oleh tim periset yang dipimpin kedua profesor tersebut. Mereka menganalisis lebih dari 450.000 lembar pertanyaan yang disebar pada masyarakat AS sepanjang tahun 2008 sampai 2009 silam. Hasilnya dipublikasi beberapa hari silam, awal September 2010 di majalah PNAS (Proceedings of the National Academy of Sciences). Uang memang bukan segalanya, tetapi tanpa uang segalanya di dunia bakal membuat hidup lebih sengsara.
Gaji Lebih Banyak, Tapi Tidak Lebih Bahagia. Kok Bisa?
Penghasilan Kasim sebagai setiap bulannya Rp 1.250.000. Pekerjaannya? Pencuci piring di kantin sebuah perusahaan besar. Gajinya lebih besar dari sesama pencuci piring di kantin yang sama, karena Kasim melakukan tugasnya dengan amat baik. Selain itu masa pengabdiannya juga yang paling lama. Kasim adalah pencuci piring paling senior. Jabatannya: mandor para pencuci piring.
Tina adalah karyawati di sebuah bank besar. Gajinya per bulan Rp 2.500.000. Dibanding rekan sekerjanya, kendati lulusan S-1 sebuah perguruan tinggi terkenal, penghasilan Tina termasuk yang paling kecil. Mudah dipahami karena Tina baru 1 bulan bekerja, masih dalam masa percobaan pula. Jabatannya: trainee. Junior pula.
Siapa di antara kedua mereka lebih bahagia? Kasim atau Tina? Jika dilihat dari penghasilan, mestinya Tina lebih bahagia, sebab penghasilannya 2 kali lipat dari yang didapat Kasim. Jika penghasilan tidak dilihat sebagai faktor penentu, maka harusnya Kasim lebih bahagia ketimbang Tina, karena sang pencuci piring adalah master di bidangnya.
Diagnosis Kebahagiaan Rangkuman Kongres Internasional (diselenggarakan oleh Universitas Zurich, Swiss)
A. RISET TENTANG KEBAHAGIAAN
1. Bahwa 30% sampai 50% kemampuan seseorang untuk bahagia merupakan takdir alias bawaan sejak lahir.
2. Bahwa manusia yang bahagia cenderung panjang umur.
3. Bahwa interaksi sosial, persahabatan, dan pertemanan merupakan faktor-faktor penting yang menunjang kebahagiaan.
4. Demikian pula suatu kegiatan yang bermakna dan berguna bagi sesama.
5. Bahwa kekayaan materi bukan syarat mutlak untuk menjadi bahagia.
6. Namun kemiskinan bisa menjadi hambatan untuk menjadi bahagia.
7. Bahwa seseorang tidak harus menikah supaya bahagia.
8. Namun mereka yang bahagia cenderung hidup dalam pernikahan, ketimbang yang tidak bahagia.
9. Bahwa penyakit dan cacad tubuh bukan halangan untuk kebahagiaan.
B. TIPOLOGI BAHAGIA
1. Kesederhanaan dan kepuasan (bahayanya: naivitas).
2. Merasa aman dalam kepercayaan (bahayanya: fanatisme, dogmatisme)
3. Gampang berkreativitas (bahayanya: egosentrik, narsisme sepihak).
4. Menikmati aktivitas (bahayanya: gila kerja).
5. Kegembiraan alami (bahayanya: kepura-puraan, seolah giat bekerja).
MONEY AND HAPPINESS
Asumsi inilah yang dijadikan studi oleh tim periset yang dipimpin oleh Christopher Boyce dari University of Warwic, Inggris. Masukan sebanyak lebih dari 12 ribu responden dijadikan acuan riset. Hasilnya? Bukan jumlah penghasilan yang menentukan kebahagiaan dan kepuasan, melainkan posisi seseorang di perusahaan.
Kebahagiaan kita rupanya tergantung dari penyamaan penghasilan di kelompok kerja. Menurut para peneliti, kita mengukur gaji yang diterima dengan sesama rekan yang penghasilannya lebih tinggi. Jarang dengan yang gajinya lebih rendah. Penyamaan dengan yang lebih tinggi itu memang menyulut motivasi seseorang, namun dalam jangka panjang akan membuat orang tidak bahagia.
Kesimpulannya:
(1) lebih banyak uang ternyata tidak membuat orang lebih bahagia. Kepuasan hidup akan meningkat, jika seseorang meningkat gajinya seiring dengan naiknya posisinya dalam kelompok yang sama.
(2) Kepuasan hidup dan kebahagiaan tidak naik, jika semua karyawan dalam satu divisi sama-sama mengalami kenaikan penghasilan yang sama. Hal tersebut pernah diteliti oleh ekonom Prof. Richard A. Easterlin dari University of Southern California. Prof. Easterlin melakukan studi pada 19 negara sepanjang tahun 1946-1970. Hasilnya?
Uang memang bisa membuat manusia bahagia. Tetapi rakyat sebuah negara tidak akan lebih bahagia, walaupun produk domestik bruto negara itu naik. Mengapa? Kendati naiknya produk domestik bruto suatu negara menunjukkan rakyat yang lebih makmur, namun posisi mereka tetap sama. Itulah sebabnya tidak ada pula kenaikan tingkat kebahagiaan. Hal tersebut terkenal dengan istilah Easterlin-Paradox.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar