Kamis, 09 September 2010
Ketika pelangi muncul dari lubuk hati yang terdalam
Perang mulut yang sengit dimulai dari potongan tebal tipisnya roti, pertarungan ini merembet ke agama, kebiasaan hidup yang berbeda, pemikiran yang tidak sama, dua orang saling menyerang, mengungkit kesalahan, kata-kata kasar pun digunakan.
Tana dan Steven sepasang suami istri ini makin bertengkar makin seru, kedua belah pihak marah hingga mukanya merah padam. Padma, putri mereka berusia enam bulan. Dari gendongan Tana dilemparkan ke tangan Steven, lalu dia naik ke atas.
Selang sepuluh menit, terdengar suara tangisan putrinya, Tana turun dia baru sadar nafas suaminya terengah-engah. Peristiwa ini sudah sering terjadi, maka sewaktu suaminya memohon, "Telepon ke 911, saya mungkin sudah tak tahan lagi!" Tana masih cuek.
Setelah menutup telepon, dalam hati masih berpikir, tadi masih ada beberapa kata yang lebih keras dapat membuat dia tak ada kata untuk membalas, masih belum ada kesempatan mengutarakan, tunggu perang mulut berikutnya dapat digunakan.
Setelah ambulans mengangkat dia, tak sampai satu jam, Steven pun meninggal dunia karena sakit jantungnya kambuh, dan tak meninggalkan sepatah kata pun.
Roti yang dia potong ketebalan masih ada diatas meja.
Tana ke tempat praktek karena menderita depresi, di luar sedang turun hujan, dia teramat kecewa dan sedih.
"Dokter, apakah manusia dapat hidup sekali lagi?"
"Kalau saya masih ada kesempatan untuk hidup bersama dengan Steven lagi, pasti tidak seperti dulu, saya akan menyayanginya."
Kebaikan suami setelah dia tidak ada selalu muncul di benaknya.
"Saya sangat menyesal," dia menangis tersedu-sedu.
Dia bercerita: biasanya dia sangat keterlaluan, mengada-ada, cerewet, semua orang harus menuruti kemauan saya, sedikit-sedikit marah, semua kesalahan ditumpahkan ke orang lain.
Sekarang Steven pergi tanpa pamit, pergi untuk selamanya, ucapan "terima kasih" yang sering saya lontarkan kepada teman-teman, tak pernah saya ucapkan kepada Steven. Sekarang waktu dia bersungguh-sungguh ingin mengutarakannya, namun Steven sudah selamanya takkan pernah bisa untuk mendengarnya lagi.
Penyesalan Tana tak dapat diungkapkan dengan kata-kata.
Sejak suaminya meninggal dunia, Tana mula-mula menderita depresi, selanjutnya terkena sejenis penyakit yang ada hubungan dengan jaringan anti body, penyebab penyakit ini karena batinnya tidak sehat.
Sedih, penyesalan, menyalahkan diri sendiri, menyebabkan penyakit menumpuk dalam tubuh. Tana makin bingung, takut, tapi tidak tahu adakah cara untuk melepas dari penderitaan ini, dia berobat ke mana-mana tetapi penyakitnya makin hari makin parah.
Karena setelah menemui jalan buntu dia baru memutuskan memakai pengobatan tradisional China.
Selama proses pengobatan saya pernah bertanya padanya, "Setelah melewati sekian banyak penderitaan, apa yang Anda peroleh?"
Jawaban yang keluar sungguh di luar dugaan, "Saya lebih mengenal diri saya sendiri."
"Oh!"
"Seumur-umur saya tidak pernah mau mengubah diri saya sendiri, hanya ingin mengubah orang lain, saya menyadari di mana yang saya paling tidak suka, justru itulah kekurangan saya. Saya mengatakan dia malas, padahal saya juga malas, mengatakan dia serakah, bukankah saya juga demikian?"
"Teringat kembali ketika kita bertengkar sangat hebat, saya melihat kekurangan saya, karakter yang jelek, yang tidak baik, semua tampak sangat jelas. Sewaktu marah, saya tak dapat menguasai diri, dan untuk memuaskan diri sendiri lalu mencaci maki orang lain."
"Karena Steven sudah tak dapat membantah, saya hanya dapat menyimpannya dalam hati. Dia telah pergi, dia meninggalkan saya untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan ini, agar bila nanti reinkarnasi lagi dapat menjadi orang yang bersih dan baik." Tana bercerita dengan perasaan tenang.
Saat saya berbicara tentang jalan kultivasi yang sedang saya tempuh, tentang Sejati, Baik, Sabar, kelihatan matanya berbinar, nampak ekspresi yang haus untuk mengetahui lebih mendalam tentang hukum alam yang tak pernah dia ketahui.
Saya bercerita mulai dari pembalasan atas kebaikan dan kejahatan, reinkarnasi, sebab musabab penyakit; sekejap dia seperti mengerti suatu kebenaran, berdiri dari kursi "Ah, saya mengerti sekarang."
"Apa?"
"Hati yang lapang dan damai."
Sebuah pelangi muncul dari lubuk hati yang terdalam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar