Rabu, 28 April 2010
Untaian Kehidupan
Seorang ibu berprofesi sebagai peminta-minta yang berada di sudut lampu merah itu menggendong anaknya yang masih kecil, berjalan mendekati seorang pedagang makanan keliling. Dengan beberapa ratus rupiah sebuah bungkus permen itu berpindah tangan, yang kemudian diberikannya kepada sang anak di gendongan. Sang anak dengan wajah ceria menerima dan kemudian memainkannya tanpa bermaksud memakannya, mungkin karena tidak tahu bagaimana cara membukanya atau memang dia hanya memainkannya. Sang kakak mendekatinya dan mencoba untuk meminta permen itu, tapi sang adik tak memberikannya dan karena kakaknya memaksa maka menangislah si kecil. Sebuah potret nuansa kehidupan manusia di kota metropolitan, sebuah foto yang jelas menggambarkan bagaimana beratnya mengarungi kehidupan ini.
Anak mungil yang tidak seharusnya berada tiap hari di jalanan yang penuh dengan kotoran kimia itu tanpa dapat menolak harus menjalaninya, dia harus bersahabat dengan semua kotoran, debu, motor, dan mobil serta orang-orang yang lewat di lampu merah itu, dia, tanpa pernah mengerti menghirup bulat-bulat semua hal yang disajikan di depan hidungnya, semua kotoran yang seharusnya dibuang oleh kuda-kuda besi itu harus dihirup dan dimasukkan ke paru-parunya yang kecil, harus dialirkan oleh darahnya ke semua sudut bagian tubuh mungilnya. Sebuah cerita sedih yang tak tahu kapan akan berakhir.
Sang kakak yang masih berusia 6 tahunan, yang juga tidak seharusnya menemaninya karena bukankah dia sudah cukup umur untuk masuk ke sebuah sekolah? Untuk duduk di bangku kecil dan mendengarkan semua pelajaran yang diberikan oleh sang guru? Bukankah dia sebaiknya bermain di sebuah tanah lapang yang cukup asri daripada harus bermain di pinggiran trotoar jalan? Bukankah dia layak untuk mendapatkan teman-teman yang lebih baik untuk bermain daripada bermain dengan orang-orang yang berumur jauh lebih tua darinya?
Dan sang ibu, yang menjadi sumber dari segala sumber ini semua, apakah patut disalahkan? Mungkinkah dia dapat meninggalkan kedua anaknya yang masih kecil-kecil itu di rumah, jika mereka mempunyai rumah, sendiri tanpa pengawasan? Mungkinkah dia akan berada di jalanan kalau dia mempunyai suami yang bisa memberikan nafkah bagi keluarga kecil itu? Mungkinkah dia akan “mengorbankan” masa depan anaknya dengan cara seperti itu? Ataukah dia seorang ibu yang malas yang hanya memikirkan jalan pintas untuk mendapatkan uang tanpa memikirkan nasib anak-anaknya? Ataukah dia memang tidak tahu bahwa semua yang dia lakukan itu merusak kehidupan masa depan anak-anaknya? Atau dia memang sudah putus asa dengan semua kemiskinan yang selalu menemani sepanjang kehidupannya?
Sebuah cerita kehidupan yang selalu berulang dan berulang, kapankah akan usai???
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar