Apakah anda ingin menjadi sumber daya manusia yang mampu bekerja tulus penuh syukur, sanggup bekerja tuntas penuh integritas, mau bekerja benar penuh tanggung jawab, bisa bekerja keras penuh semangat, dapat bekerja serius penuh kecintaan, senang bekerja kreatif penuh sukacita, selalu bekerja unggul penuh ketekunan, dan tetap berusaha bekerja sempurna penuh kerendahan hati?
Menurut Jansen Sinamo dalam bukunya Ethos21, perilaku kerja adalah bagian dari apa yang disebutnya etos kerja. Sedangkan etos kerja adalah buah-buah dari keyakinan dan komitmen yang berakar dalam nilai-nilai dan doktrin kerja tertentu yang mewujud nyata pada prilaku kerja yang khas. Secara operasional, etos kerja merupakan pangkal dasar keberhasilan, baik keberhasilan pada tingkat personal, organisasional, maupun sosial.
Etos kerja merupakan kunci sukses yang sangat unik namun bukan satu-satunya kunci keberhasilan. Karena yang benar etos kerja adalah fundamen keberhasilan (necessary condition/syarat perlu).
Pada tingkat fundamental keberhasilan (apakah itu personal, organisasi, maupun social) beliau memformulasikan seperangkat etos kerja positif menjadi delapan pernyataan, yaitu :
Etos 1 ; Kerja adalah Rahmat
Statement tersebut di atas adalah sebuah pengakuan bahwa kerja adalah pemberian Tuhan Yang Maha Pengasih. Pengakuan ini lahir dari kepercayaan bahwa kita adalah makhluk ciptaan Tuhan. Jadi seharusnya kita pun yakin bahwa Tuhan pasti memelihara kehidupan kita. Oleh sifat-Nya yang Rahman dan Rahim, kita dapat merasa tenang dan mantap untuk mempercayai bahwa apapun yang kita butuhkan untuk dapat hidup dan bekerja dengan baik akan disediakan oleh-Nya. Secara fundamental, etos kerja ini mempercayai bahwa kerja adalah rahmat, dan karena itu harus disyukuri, paling sedikit karena empat alasan.
Pertama, kerja itu secara hakiki adalah berkat Tuhan. Di sini, lewat pekerjaan, Tuhan memelihara kita. Dengan upah yang kita terima, kita dapat menyediakan sandang pangan yang wajar untuk diri dan keluarga kita. Tidak selalu mewah, tetapi sandang pangan papan sederhana pun sudah patut disyukuri.
Kedua, di samping upah finansial kita juga menerima banyak sekali factor plus, misalnya kehormatan jabatan, fasilitas jabatan, jaminan kesehatan dan sebagainya. Banyak perusahaan atau instansi bahkan menyekolahkan karyawannya sampai ke luar negeri. Artinya mereka mendapatkan kesempatan untuk bergaul lebih luas dan meningkatkan kualitas diri mereka ke tingkat yang sangat tinggi. Inilah rahmat khusus sebagai fasilitas pertumbuhan mereka menjadi manusia yang lebih mulia sifatnya. Pendeknya, melalui pekerjaan tersedia banyak paket rahmat untuk kita agar dapat hidup berkelimpahan baik secara material, psikologikal, sosial dan spiritual.
Ketiga, talenta yang menjadi basis keahlian kita dalam bekerja jika diusut, sebenarnya adalah adalah rahmat juga. Setiap orang diberi bakat-bakat atau talenta oleh Sang Pencipta.
Keempat, bahan baku yang kita pakai dalam bekerja juga telah tersedia karena rahmat Tuhan.
Dengan paradigma rahmat ini, maka kita akan terdorong untuk bekerja dengan sungguh-sungguh. Kekayaan Tuhan dalam segala hal yang baik dan karakter-Nya yang Maha Baik itu merupakan sebuah tawaran yang sangat mengundang bagi kita untuk selalu bersikap dan berfikir positif. Hal terakhir ini selanjutnya menjadi dasar memudahkan bagi kita untuk bekerjasama dengan orang lain secara sinergistik.
Pada tingkat emosional, paradigma rahmat ini akan membuat hati kita melimpah syukur. Secara khusus, kita harus bekerja dengan hati bersyukur dari hati yang bersih dan tulus. Bekerja tidak boleh bersungut-sungut, bermalas-malasan atau setengah hati. Kebaikan telah tersedia dengan sangat melimpah sehingga kita selayaknya harus bekerja dengan rasa syukur.
Dalam pengertian lain, bekerja adalah bentuk rasa syukur kita kepada Tuhan, dan dalam bentuk derivatifnya, merupakan bentuk rasa syukur kita kepada negara, pemilik modal dan manajemen.
Kesadaran bahwa rahmat selalu melimpah untuk kita akan mengimbas kita untuk bermental limpah terhadap sekeliling kita, sehingga lama-kelamaan akan membentuk karakter limpah (abundance character) dalam diri kita. Buah karakter limpah ini bermacam-macam, antara lain: suka menolong orang lain, tidak pelit, tidak takut kekurangan, selalu merasa ada alternatif lain di samping alternatif yang kasat mata, mampu memberi dahulu kemudian menerima, bersedia menabur dahulu menuai kemudian, mampu memberi dan menawarkan pertolongan, mampu berkorban dan mampu percaya pada kebaikan dan bersandar pada roh kebaikan. Barangkali ini buah terpenting dari paradigma rahmat, bahwa oleh rahmat kita ditransformasikan menjadi manusia yang berjiwa besar, bersikap dewasa, berkepribadian matang dan bijaksana. Secara psiko-spiritual, karakter semacam ini dianggap sebagai bermutu tinggi. Inilah makna dari ungkapan in God we trust yang terkenal itu.
Etos 2 ; Kerja adalah Amanah
Konsep kunci di sini ialah amanah. Apa maksudnya ? Amanah per definisi ialah titipan berharga yang dipercayakan kepada kita. Konsekuensinya sebagai penerima amanah, kita terikat untuk melaksanakan amanah itu dengan baik dan benar.
Kesadaran bahwa kita mengemban amanah akan melahirkan moral feeling, obligasi moral, yaitu bahwa nilai yang termuat dalam amanah itu kita hargai dengan sangat tinggi sehingga tumbuhlah perasaan bahwa ia harus dijaga, dipelihara, dan dilaksanakan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya.
Melalui kerja kita menerima amanah. Pemilik modal mempercayakan usahanya. Manajemen mempercayakan pelaksanaan tugas-tugas khusus. Karyawan mempercayakan masa depannya, dan seterusnya.
Sebagai pemegang amanah (trust holder) kita adalah orang yang dipercaya dan diharapkan mampu melaksanakan amanah tersebut dengan sukses. Istilah dipercayai di sini memiliki dua makna. Pertama dipercayai secara teknis. Ini mengandalkan adanya kompetensi. Dengan kompetensi orang mampu melaksanakan tugasnya dengan benar sesuai standar teknis dan profesional, tidak asal-asalan. Kedua, dipercayai secara moral. Ini mengandalkan adanya integritas. Dengan integritas orang mampu melaksanakan tugasnya dengan benar sesuai standar etis, tidak berlumpur KKN. Jadi kompetensi dan integritas adalah sepasang kualitas utama agar seseorang mampu mengemban amanah dengan sukses.
Untuk membangun kompetensi diperlukan pendidikan dan pelatihan serius. Sedangkan untuk membangun integritas diperlukan pengetahuan dan komitmen kuat pada nilai-nilai etika. Keduanya tidak terpisahkan sebagai prasyarat utama bagi kemampuan mengemban amanah.
Jadi kita bekerja dengan penghayatan sebagai pengemban amanah, maka secara internal, oleh karena otot integritas kita yang terus berkembang, maka kita akan bertumbuh menjadi pribadi yang terpercaya. Kata terpercaya di sini mengandung dua makna. Pertama, keandalan (reliability) yang mengacu pada kompetensi teknis; dan kedua, kepercayaan (trustworthiness) yang mengacu pada kompetensi etis.
Jelas bahwa karakter keterpercayaan ini menjadi jaminan sukses pelaksanaan amanah itu sendiri. Secara empirik, kita melihat bahwa orang yang sukses mengemban amanah kecil akan mendapat kepercayaan mengemban amanah lebih besar. Lagi-lagi karakter terpercaya menjadi modal penting untuk sukses lanjutan itu. Boleh dikatakan, di atas karakter terpercaya inilah kita membangun kinerja yang unggul, sehingga pada gilirannya membuat kita dihargai dan dipercaya orang. Hal ini tentu akan memupuk motivasi dan harga diri kita. Demikianlah harga diri yang sehat dan rasa bangga yang benar ditegakkan di atas pondasi yang kukuh.
Etos 3 ; Kerja adalah Panggilan
Kerja sebagai panggilan adalah sebuah konsep yang sangat tua. Dalam tradisi Buddhisme dan Hinduisme, konsep panggilan ini disebut dharma, yaitu sebuah panggilan suci, kewajiban suci, tugas sakral untuk melakukan sesuatu. Menunaikan dharma dengan demikian merupakan sebuah tindakan yang luhur.
Dalam konteks ini panggilan dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, panggilan umum di mana semua orang tanpa kecuali, terpanggil melakukan kebaikan, kebenaran dan keadilan dalam setiap apapun yang kita lakukan. Dalam salah satu versinya yang terkenal dalam bahasa agamis dirumuskan menjadi Amar makruf nahi munkar yang berarti mengusahakan kebajikan dan mencegah kemungkaran. Dalam konteks pekerjaan, panggilan umum ini berarti apa saja yang kita kerjakan hendaknya memenuhi tuntutan kebaikan, kebenaran dan keadilan yang dalam bahasa manajemen antara lain disebut efisiensi, produktivitas, efektivitas, pelayanan pelanggan, produk bermutu atau pemasaran terfokus.
Kedua panggilan khusus, yaitu seseorang terpanggil secara partikular melakukan tugas-tugas tertentu. Tidak semua orang terpanggil menjadi industriawan, cuma sebagian; tidak semua orang terpanggil menjadi hakim, cuma segelintir; tidak semua orang terpanggil menjadi perawat, cuma sedikit; dan seterusnya.
Dharma, panggilan dan profesi bermakna sejajar, yaitu tugas suci yang harus kita laksanakan pada level personal.
Pada level organisasi, panggilan identik dengan misi. Dewasa ini setiap organisasi semakin lazim dituntut merumuskan misinya (di samping visi dan nilai-nilai intinya) dengan jelas. Meskipun konotasi moral sepintas lalu tidak muncul dalam pernyataan visi dan misi yang berkembang dewasa ini, tetapi tanpa dimensi moral yang kental, sebuah visi dan misi tidak mungkin menjadi inspirasi yang kuat.
Rasa keterpanggilan (pada pekerjaan) memang sangat khas. Ia menimbulkan keberanian moral yang tinggi. Orang yang terpanggil dengan modal integritas yang tinggi seolah-olah tidak mengenal rasa takut lagi. Resiko dalam menunaikan panggilan itu malah seolah-olah menjadi pemicu yang melepaskan adrenalin dalam volume tinggi ke seluruh penjuru tubuh. Maka orangnya sangat berani, penuh semangat, bergairah dan antusias. Jadi, apakah panggilan anda juga merupakan pekerjaan dan profesi anda? Dan sudahkan anda menjawabnya dengan tuntas penuh integritas?
Etos 4 ; Kerja adalah Aktualisasi
Bekerja keras penuh semangat, yaitu mengaktualisasikan diri, sesungguhnya identik dengan mengembangkan potensi diri kita. Hal ini akan mudah dilakukan, tidak terasa berat, malahan sangat natural, jika pekerjaan kita adalah sekaligus profesi yang merupakan panggilan hidup kita. Ini berarti kita bekerja di jalur yang tepat.
Kenyataannya, ada banyak orang ternyata bekerja di jalur yang salah. Mereka adalah the wrong person in the wrong place. Ini umumnya terlihat dari orang yang hobi pindah-pindah pekerjaan. Tanda-tanda lain ialah kejenuhan dan kebosanan. Waktu terasa amat panjang, tempo terasa amat lambat dan jika tiba hari Jumat segera berseru “Thanks God it is Friday”. Mereka kehilangan perspektif dan orientasi kerja.
Yang sebenarnya harus dilakukan ialah menemukan panggilan hidup kita. Lalu merumuskan visi dan target yang ingin diraih. Kemudian menutup pikiran kita terhadap godaan-godaan yang lain, serta memfokuskan energi terbaik kita mencapai keinginan utama kita. Jika kita berada dalam modus kerja seperti ini, maka kerja keras tidak terasa lagi, tetapi kegairahan besar mengarungi perjalanan yang penuh drama dan keasyikan.
Dalam proses itulah potensi kita berubah menjadi kompetensi di samping tercapainya hasil-hasil lainnya. Kita pun merasa mantap, stabil dan secara kualitatif kita merasa unik dan berbeda dengan orang kebanyakan, tidak asal heboh mengikuti arus. Dengan standar tinggi kita dimungkinkan mencapai standar melebihi yang diminta konstituen kita. Dengan panduan visi dan misi yang jelas, impian besar dan cita-cita agung, kita berjalan menuju puncak bukit keberhasilan. Dalam perjalanan seperti ini, kreativitas kita akan berfungsi secara alamiah, proaktivitas kita menguat secara kontinual, imajinasi kita berkembang secara inovatif. Bangun dini hari tidak pernah lagi menjadi beban. Bekerja intensif, tenggelam dalam kenikmatan kerja, jika perlu sampai larut malam, merupakan kebiasaan sehat. Kita pun dimungkinkan mencapai standar mutu kerja yang tinggi tanpa keluh kesah, tanpa komplein, tanpa banyak tuntutan akan berbagai fasilitas yang sebenarnya sering cuma tameng atas kebosanan kerja. Kambing hitam hilang dari tempat kerja kita. Yang ada ialah kerja penuh semangat yang berorientasi pada kesempurnaan. Demikianlah potensi diri kita teraktualisasikan secara optimal, maksimal dan efektif.
Etos 5 ; Kerja adalah Ibadah
Kerja sebagai ibadah adalah sebuah tindakan menyerahkan atau memberikan (the act of giving) kepada Dia yang kita abdi. Pertanyaannya, apa yang kita berikan atau apa yang kita buktikan? Pada tingkat paling luar kita dapat memberikan harta kita. Lebih dalam lagi, kita bisa memberikan waktu kita. Dan lebih jauh lagi, kita memberikan hati dan cinta kita.
Bekerja yang dihayati sebagai ibadah, sebagai bakti, sebagai pengabdian kepada Tuhan dan segenap atribut-Nya seperti keadilan, kebenaran, perdamaian, kemakmuran, kesatuan dan persatuan, pada dasarnya harus kita tunjukkan lewat memberikan diri, membagikan pengetahuan, memberikan waktu, harta dan hati kita kepada komunitas kita.
Sikap pengabdian harus dilakukan dengan serius, yaitu sikap sungguh sesungguh-sungguhnya. Ini penting karena pengabdian selalu meminta kesediaan berkorban. Akan tetapi pengorbanan untuk sebuah idealisme adalah sebuah kebahagiaan rohaniah. Juga, pengorbanan yang didorong oleh rasa cinta adalah sebuah kebahagiaan sejati.
Dengan sikap berkorban, terbentuklah karakter kesungguh-sungguhan dalam diri kita. Orang Jepang menyebutnya makoto, artinya sungguh sesungguh-sungguhnya, tanpa kepura-puraan, benar-benar asli. Sikap kerja seperti ini memampukan kita untuk mengatasi masalah-masalah dalam pekerjaan kita dengan tenang dan mantap.
Kesadaran bahwa kita sedang mengabdi pada Yang Benar dan Yang Agung membuat kita mampu menerima kekuatan hati dari kebenaran dan keagungan itu. Kita kemudian berada dalam suatu loving devotion atau loving dedication pada nilai-nilai luhur di balik dan di ujung pekerjaan kita. Inilah roh keberhasilan yang dijiwai oleh cinta kasih yang memberikan apa saja yang terbaik, terindah, terelok atau termulia dari diri kita.
Konsekuensi logisnya, melalui pekerjaan kehendak Tuhan kita wujudkan. Yaitu bahwa melalui pekerjaan, kita bertumbuh dan berkembang menjadi manusia yang kualitas kepribadiannya, karakternya, dan mentalnya berkembang ke arah yang ilahi. Itu yang pertama.
Kedua, melalui pekerjaan kita dapat meningkatkan hubungan silaturahmi yang saling mengasihi dan menyayangi. Agar melalui pekerjaan kita dapat membangun persatuan kesatuan antar manusia. Agar melalui pekerjaan kita menghasilkan kemakmuran, kesejahteraan dan kebahagiaan.
Kesadaran ini membuat kita harus bekerja sebaik-baiknya, mencapai mutu setinggi mungkin, tidak hanya memuaskan manusia tetapi juga memuaskan hati Tuhan. Tidak hanya Customer Satisfaction tetapi juga God Satisfaction. Kesadaran seperti ini, tidak bisa tidak, akan menimbulkan motivasi kerja yang besar.
Etos 6 ; Kerja adalah Seni
Kerja sebagai seni yang mendatangkan kesukaan dan gairah kerja, bersumber dari aktivitas-aktivitas kreatif, artistik dan interaktif. Sukacita ini bertambah pula karena adanya suasana penuh tantangan yang memungkinkan terjadinya sense of accomplishment.
Aktivitas seni menuntut penggunaan potensi kreatif dalam diri kita, baik untuk menyelesaikan masalah-masalah kerja yang timbul maupun untuk menggagas hal-hal yang baru. Orang yang bekerja dalam modus ini, menikmati kesukaan seperti anak kecil menemukan mainannya. Dalam pekerjaan seperti inilah kita dapat tenggelam dalam keasyikan melaksanakan tugas-tugas pekerjaan kita secara positif dan produktif.
Kerja menyediakan aktifitas kreatif, artistik dan estetik. Inilah sumber kegembiraan terbesar dalam bekerja karena kreativitas adalah energi mental positif yang mengalir dalam bentuk ide, gagasan atau metafora. Bersamaan dengan mengalirnya energi kreatif ini, mengalir pula perasaan senang, gembira dan kelegaan yang amat besar. Pekerja kreatif semacam ini mengalami banjir ide dan banjir sukacita sekaligus. Pendeknya terjadi keasyikan mental rohaniah yang membuat kita lupa waktu dan tidak kenal lelah. Yang ada cuma kegairahan emosional dan kenikmatan intelektual.
Kerja yang dilakukan penuh kesukaan akan membuat kita dipenuhi oleh daya cipta, kreasi-kreasi baru, dan gagasan-gagasan inovatif. Hasilnya, buah pekerjaan kita disukai orang lain, pelanggan atau konsumen.
Etos 7 ; Kerja adalah Kehormatan
Kerja sebagai kehormatan memiliki sejumlah dimensi yang sangat kaya. Pertama, secara okupasional, pemberi kerja menghormati kemampuan kita dengan memilih kita sebagai yang layak memangku jabatan atau melaksanakan tugas tersebut. Di sini mereka yang berwenang percaya pada kemungkinan sukses kita. Mereka mempercayai kompetensi kita, dan memberi kesempatan pada kita. Sungguh, hal ini adalah sebuah kehormatan.
Kedua, secara psikologis, pekerjaan memang menyediakan rasa hormat diri bagi kita yang tumbuh dari kesadaran bahwa kita mampu (dan biasanya dibuktikan dengan prestasi-prestasi) sehingga melahirkan kebanggaan dan harga diri yang sehat. Inilah rasa hormat diri (self respect) yang selanjutnya menjadi pondasi bagi tumbuhnya rasa percaya diri (self confidence) yang sehat pula.
Ketiga, secara sosial, kerja memberikan kehormatan karena berkarya dengan kemampuan diri sendiri adalah sebuah kebajikan. Di sini kita menjadi manusia produktif, tidak mengemis atau parasit yang membebani orang lain. Kita berubah dari manusia non-produktif menjadi insan produktif-kontributif. Dengan bekerja, seseorang berpindah dari tingkat dependen ke tingkat independen. Dan status baru ini membuat dia menjadi manusia terhormat, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi habitat sosialnya. Lebih mengagumkan lagi jika kita tetap mampu produktif meskipun dihadang banyak rintangan dan halangan.
Keempat, secara finansial, pendapatan sebagai upah pekerjaan kita, selain memampukan kita mandiri secara ekonomis, juga bisa membuat kita bisa turut menanggung dan membiayai orang lain, terutama anak-istri, tetapi termasuk orang tua dan lembaga-lembaga sosial yang kita santuni. Hal ini juga menambah kehormatan diri kita secara psiko-sosial.
Kelima, secara moral, kehormatan berarti menjaga perilaku yang etis dan menjauhi perilaku yang nista. Dalam kerja, ini berarti taat pada kode etik profesi, menjauhi korupsi dan kolusi serta menghindari kroniisme dan nepotisme yang jahat. Kehormatan juga berarti keberadaban (civility) termasuk sopan santun, sikap madani serta laku yang adil dan baik.
Keenam, secara personal, jika pengertian moral di atas dapat dipenuhi, maka kehormatan juga bermakna keterpercayaan (trustworthiness) yang lahir dari bersatunya kata dan perbuatan kita. Di sini kata dan janji menjadi jaminan pasti akan terlaksananya sebuah tindakan. Kata orang Inggris, my word is my honor, kata-kataku adalah kehormatanku. Di sini kita selalu menghormati perkataan dan janji kita. Buahnya, orang lain pun akan menghormati perkataan dan janji tersebut.
Ketujuh, secara profesional, kehormatan berarti prestasi unggul (superior performance). Kinerja dan prestasi yang baik membuat kita dihormati orang. Jika sukses ini menonjol kita malahan dikagumi.
Secara organisasional, orang yang mampu menjaga kehormatan, terutama secara moral dan profesional, akan diberi kehormatan yang lebih tinggi lagi, dalam bentuk jabatan dan pangkat yang lebih tinggi. Orang seperti ini menjadi orang yang sangat terhormat.
Jadi, kepatutan moral yang sepadan adalah menjaga kehormatan tersebut dengan bekerja sebaik-baiknya, mengedepankan mutu setinggi-tingginya, dan menampilkan prestasi sebagus-bagusnya, sehingga pemberi kehormatan itu (apakah negara, pemilik usaha, manajeman atau pelanggan) merasa puas atas proses dan hasil kerja kita.
Etos 8 ; Kerja adalah Pelayanan
Mengingat kita adalah makhluk mulia, sudah sepantasnya kita menampilkan sikap kerja yang mulia pula. Contoh sikap kerja mulia ialah keseriusan, kesungguh-sungguhan, jujur, hemat, bertanggung jawab dan teliti. Dalam kaitan dengan orang lain sikap kerja mulia misalnya sopan santun, hormat, sabar, rendah hati, melayani dan bersemangat.
Pekerjaan dan profesi yang melayani adalah pekerjaan dan profesi yang mulia, karena ia merupakan bentuk pelayanan riil bagi konstituen kita baik secara fungsional maupun hierarkis. Output kerja kita menjadi input kerja bagi orang lain.
Di tengah persaingan global dewasa ini, pengerahan sikap-sikap mulia dalam bekerja menjadi prasyarat untuk memasuki tata kehidupan global, di mana keunggulan dan kesempurnaan menjadi keharusan baru agar kita bisa ikut bermain di dalamnya. Keunggulan adalah tuntutan era digital. Sedangkan keunggulan hanya bisa dibuat oleh manusia yang memiliki sikap kerja yang unggul pula. Jadi sikap mulia dengan demikian adalah core dari semua keunggulan.
Menghayati pekerjaan sebagai pelayanan memerlukan kemampuan transendensi. Transenden artinya melampaui. Di sini konsep kerja kita kembangkan melampaui pengertian yang lazim, yakni sekedar mencari nafkah. Kita melakukan transendensi makna kerja ke bidang pelayanan, kemuliaan, kesempurnaan, dan kerendahan hati.
Maksudnya, kita bekerja dengan standar mutu tertinggi untuk memenuhi, bahkan melampaui spesifikasi teknis menurut ukuran profesionalisme yang lazim. Tegasnya kita memenuhi bahkan melebihi tuntutan pelanggan internal maupun eksternal. Bagaimana cara memuaskan pelanggan ? Secara ringkas kita capai melalui tiga cara.
Pertama, fokus pada pelanggan. Pada akhirnya mutu didefinisikan oleh pelanggan; dan pemenuhan kebutuhan pelanggan untuk menciptakan kepuasan pelanggan menjadi hal terpenting karena tanpa penerimaan pelanggan maka usaha kita akan berhenti.
Kedua, perbaikan dalam proses berkesinambungan. Hasil kerja yang bermutu, artinya memenuhi kebutuhan pelanggan, harus dihasilkan oleh serangkaian langkah logis rasional yang pada setiap elemen proses tersebut juga harus bermutu. Ini menuntut perbaikan terus menerus menuju kesempurnaan, berkiblat pada kebutuhan pelanggan.
Ketiga, keterlibatan total. Dalam organisasi seluruh komponen dari eselon atas sampai bawah, dari kiri sampai ke kanan, harus terlibat secara total dalam sistem peningkatan mutu ini. Dengan demikian upaya peningkatan mutu menjadi budaya bersama yang berlangsung secara langgeng.
Menjalankan ketiga strategi di atas pada tingkat individual, kembali lagi, membutuhkan etos pelayanan, karena di sanalah roh keberhasilan yang berorientasi pada kesempurnaan bersemayam melalui tindak pelayanan yang berpredikat mulia.
Kerja yang diorientasikan pada hal-hal tersebut, tidak sekedar mencari nafkah, tidak sekedar membangun karier pribadi, tetapi melayani sesuatu yang lebih besar daripada diri kita.
Merujuk pada semua etos yang telah diungkapkan di atas, manakah di antaranya yang telah kita laksanakan baik secara langsung maupun tidak ? Rasanya hanya kita sendiri yang dapat menjawabnya.
Yang jelas, sebaik apapun konsep yang kita buat, kalau itu hanya sebagai slogan, tanpa ada sedikitpun kesadaran dari kita untuk membudayakannya pada diri kita sendiri, rasanya itu semua tidak akan berarti.
Dengan bekal budaya dan etos kerja yang baik, semua akan teraktualisasi dengan sendirinya. Sebagaimana slogan berikut ini :
Pemenang selalu bagian dari solusi;
Pecundang selalu bagian dari masalah
Pemenang selalu menampilkan program kerja;
Pecundang selalu menyodorkan kambing hitam
Pemenang selalu berkata, “Akan saya kerjakan”;
Pecundang selalu berkata, “Itu bukan tugas saya”
Pemenang selalu menemukan solusi dalam setiap masalah;
Pecundang selalu menemukan masalah dalam setiap solusi
Pemenang selalu melihat rumput hijau di antara bebatuan;
Pecundang selalu melihat batu di antara rerumputan
Pemenang selalu bertekad: “Hari ini akan saya tuntaskan!”;
Pecundang selalu berniat: “Kapan-kapan jika sempat!”
Pemenang seslalu berkata, “Sulit tetapi bisa”;
Pecundang selalu berkata, “Mungkin tetapi sulit.”
Disarikan secara bebas dari buku : Ethos21
Penulis : Jansen Sinamo
Tebal Buku : 256 halaman
Penerbit : Institut Darma Mahardika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar