Kamis, 29 April 2010
Bolehkah aku mencium dirimu mama
Sewaktu masih kecil, aku sering merasa dijadikan pembantu olehnya.
Ia selalu menyuruhku mengerjakan tugas-tugas seperti menyapu lantai
dan mengepelnya setiap pagi dan sore. Setiap hari, aku “dipaksa”
membantunya memasak di pagi buta sebelum ayah dan adik-adikku bangun.
Bahkan sepulang sekolah, ia tak mengijinkanku bermain sebelum semua
pekerjaan rumah dibereskan. Sehabis makan, aku pun harus mencucinya
sendiri juga piring bekas masak dan makan yang lain. Tak jarang aku
merasa kesal dengan semua beban yang diberikannya hingga setiap kali
mengerjakannya aku selalu bersungut-sungut.
Kini, setelah dewasa aku mengerti kenapa dulu ia melakukan itu semua.
Karena aku juga akan menjadi seorang istri dari suamiku, ibu dari
anak-anakku yang tidak akan pernah lepas dari semua pekerjaan masa
kecilku dulu. Terima kasih ibu, karena engkau aku menjadi istri yang
baik dari suamiku dan ibu yang dibanggakan oleh anak-anakku.
Saat pertama kali aku masuk sekolah di Taman Kanak-Kanak, ia yang
mengantarku hingga masuk ke dalam kelas. Aku tak peduli dengan
setumpuk pekerjaannya di rumah, dengan rasa kantuk yang menderanya,
atau terik, atau hujan. Juga rasa jenuh dan bosannya menunggu, yang
penting aku senang ia menungguku sampai bel berbunyi.
Kini setelah aku besar, aku malah sering meninggalkannya, bermain
bersama teman-teman bepergian. Tak pernah aku menungguinya ketika ia
sakit, ketika ia membutuhkan pertolonganku disaat tubuhnya melemah.
Saat aku menjadi orang dewasa, aku meninggalkannya karena tuntutan
rumah tangga.
Di usiaku yang menginjak remaja, aku sering merasa malu berjalan bersamanya.
Pakaian dan dandanannya yang kuanggap kuno jelas tak serasi dengan penampilanku
yang trendi. Bahkan seringkali aku sengaja mendahuluinya berjalan satu-dua meter di
depannya agar orang tak menyangka aku sedang bersamanya.
Padahal menurut cerita orang, sejak aku kecil ibu memang tak pernah
memikirkan penampilannya, ia tak pernah membeli pakaian baru,
apalagi perhiasan. Ia sisihkan semua untuk membelikanku pakaian yang
bagus-bagus agar aku terlihat cantik, ia pakaikan juga perhiasan di
tubuhku dari sisa uang belanja bulanannya. Padahal juga aku tahu, ia
yang dengan penuh kesabaran, kelembutan dan kasih sayang mengajariku
berjalan. Ia mengangkat tubuhku ketika aku terjatuh, membasuh luka di
kaki dan mendekapku erat-erat saat aku mengangis.
Selepas SMA, ketika aku mulai memasuki dunia baruku di perguruan
tinggi, aku semakin merasa jauh berbeda dengannya. Aku yang pintar,
cerdas, dan berwawasan seringkali menganggap ibu sebagai orang bodoh,
tak berwawasan hingga tak mengerti apa-apa, hingga kemudian
komunikasi yang berlangsung antara aku dengannya hanya sebatas
permintaan uang kuliah dan segala tuntutan keperluan kampus lainnya.
Usai wisuda sarjana, baru aku mengerti, ibu yang kuanggap bodoh, tak
berwawasan dan tak mengerti apa-apa itu telah melahirkan anak cerdas
yang mampu meraih gelar sarjananya. Meski ibu bukan orang
berpendidikan, tapi do’a di setiap sujudnya, pengorbanan dan cintanya
jauh melebihi apa yang sudah kuraih. Tanpamu ibu, aku tak akan pernah
menjadi aku yang sekarang.
Pada hari pernikahanku, ia menggandengku menuju pelaminan. Ia
tunjukan bagaimana meneguhkan hati, memantapkan langkah menuju dunia
baru itu.
Sesaat kupandang senyumnya begitu menyejukkan, jauh lebih indah dari
keindahan senyum suamiku. Usai akad nikah, ia langsung menciumku saat
aku bersimpuh di kakinya, saat itulah aku menyadari ia juga yang
pertama kali memberikan kecupan hangatnya ketika aku terlahir ke
dunia ini.
Kini setelah aku sibuk dengan urusan rumah tanggaku, aku tak pernah
lagi menjenguknya atau menanyai kabarnya. Aku sangat ingin menjadi
istri yang shaleh dan taat kepada suamiku hingga tak jarang aku
membunuh kerinduanku pada ibu. Sungguh, kini setelah aku mempunyai
anak, aku baru tahu bahwa segala kiriman uangku setiap bulannya tak
lebih berarti dibanding kehadiranku untukmu.
Aku akan datang dan menciummu ibu, meski tak sehangat cinta dan kasihmu kepadaku
I Love you mother
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar