Pages

Rabu, 03 November 2010

Materi Bukanlah Segalanya

Kita sering mendengar ungkapan, "Manusia hendaknya jangan diperbudak oleh harta, tetapi harta itu harus digunakan demi kesejahteraan." Ungkapan ini memang sekarang cukup sulit untuk dilaksanakan. Bukan berarti orang sudah membuang ungkapan yang arif itu. Sebabnya tidak lain karena sukses di bidang materi akan menyeret tiap orang untuk mencari materi yang lebih banyak lagi. Sehingga materi yang sesungguhnya menjadi sarana untuk mencapai kesejahteraan akhirnya berubah menjadi tujuan utama.


Kalau hanya diukur dengan materi, maka banyak istri yang dipandang rendah karena tidak bisa memberikan prestasi materi. Oleh karena itu, ukuran seperti itu akan membuat ketidak-harmonisan dalam keluarga. Tetapi sebaliknya, sekarang banyak wanita-wanita karier yang berprestasi, dan tidak jarang banyak suami yang kadang-kadang menjadi minder. Itu pun kalau hanya diukur dari sudut pandang materi.

Kalau dahulu wanita hanya mengasuh anak dan mengurus dapur, sekarang wanita-wanita tidak jarang menjadi eksekutif, direktris, dan sebagainya. Sehingga tidak jarang suami-suami menjadi kecil nyalinya.

Demikian juga sebaliknya, wanita-wanita jangan mengukur suami mereka hanya dengan materi saja. Kalau istri sukses, istri tidak bisa mengatakan, "Sekarang saya yang mencari uang, sekarang saya yang menjadi tulang punggung rumah tangga. Jadi urusan membersihkan rumah menjadi urusanmu." Itulah kalau segala sesuatu hanya diukur dengan materi.

Materi harus dinilai dari segi fungsinya, bukan dari segi kepemilikannya. Materi bukan sesuatu yang jelek, bukan sesuatu yang kotor, bukan pula sesuatu yang haram. Tetapi materi jangan dilihat sebagai milik, atau sebagai harta. Materi itu semata-mata sebagai sarana atau alat yang berfungsi untuk melakukan perbuatan bajik yang lebih banyak dan lebih luas, demi keluarga, demi masyarakat.

Paham materi-sentris ini sudah ada sejak dulu kala. Ada pandangan yang mengatakan bahwa materi itulah yang menjadi sumber utama kebahagiaan. Sebab kalau kurang materi, akan hidup melarat, dan melarat itu menderita.

Tetapi, ada sebagian pandangan yang memandang bahwa materi adalah racun. Oleh karena itu, bila ingin mencapai kebahagiaan sejati maka materi harus dilenyapkan. Dua pandangan ini sama-sama ekstrem. Memandang bahwa materi sebagai sumber kebahagiaan adalah pandangan salah, demikian pula, memandang materi sebagai racun juga salah.

Sekarang dunia ini kelihatannya lebih condong kepada ekstrem materi. Sehingga sekarang sulit dijumpai orang yang bertapa di hutan-hutan. Kalau orang ekstrem materi, memuja materi, agama hanya dijadikan pelengkap saja untuk memuaskan emosi, tidak lebih.

Ekstrem materi yang melanda dunia ini akan melahirkan persaingan. Dan persaingan itu bukan hanya keras, tetapi juga kejam. Itulah dunia kita sekarang, Oleh karena manusia sekarang cenderung mengukur segala sesuatu dengan materi.

Orang bergaul, orang memberikan penghargaan, orang berbaik-baik pada orang lain, kadang-kadang orang itu tidak peduli, apakah ini tulus atau hanya pulasan. Dia tidak peduli. Dia melakukan itu untuk memperoleh keuntungan materi. Karena sekarang yang menjadi ukuran maju, mundur, susah, senang, sukses, gagal, adalah materi.

Kini materi sudah bukan lagi menjadi alat, tetapi sudah menjadi tujuan. Bagaimana cara mengejar materi sebanyak dan secepat mungkin. Itulah obsesinya. Manusia lalu menjadi budak materi.

Pikiran yang berwawasan materi-sentris amat sulit menerima perubahan. Apalagi perubahan yang membawa pada kehancuran, penurunan, kekurangan, dan sebagainya. Bukankah perubahan itu tidak selamanya membuat selera kita puas. Orang yang selalu berpikir serba materi, tidak akan tahan menghadapi perubahan yang menurun. Dia sulit menerima perubahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...