Pages

Kamis, 20 Mei 2010

Kesastraan Melayu Tionghoa

Kebudayaan Peranakan Tionghoa merupakan kebudayaan yang terkaya di
Asia Tenggara. Hal ini nampak dari pakaian, makanan dan bahasanya
yang merupakan sintesa dari kebudayaan Tionghoa, Melayu, Belanda,
Portugis dan pelbagai kebudayaan lokal, tergantung di mana saja kaum
Peranakan ini bermukim.

Bahasanya yang biasanya disebut bahasa Melayu Tionghoa tidak saja
dipakai dalam pergaulan sehari-sehari tetapi juga digunakan di mass
media yang keberadaannya dapat ditelusuri sejak pertengahan abad ke
19. Mass media ini menyebabkan timbulnya kesastraan, karena halaman-
halaman juga diisi dengan terjemahan karya sastra Tiongkok yang
terkenal. Terjemahan-terjemahan ini disusul pula dengan beberapa
karya ciptaan sendiri yang di masa itu masih merupakan reportase
berbentuk syair, seperti Sair kadatangan Sri Maharaja Siam di Betawi
yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1870.

Mulai tahun itu sampai kira-kira 1960-an kesastraan Melayu Tionghoa
berkembang pesat sehingga dapat digolongkan dalam beberapa bidang.
Di samping terjemahan dari bahasa Tionghoa dan Eropa terdapat juga
karya fiksi dan non fiksi seperti buku referensi, misalnya mengenai
cara menulis surat, membuat "pridato" dsb.



Perkembangan karya fiksi yang dimulai pada pergantian abad ke 20
berjalan seiring dengan perkembangan politik dan sosial di luar
maupun di dalam negeri yang secara langsung maupun tidak langsung
mempunyai dampak terhadap masyarakat Tionghoa Indonesia. Perkembangan
politik dan sosial ini juga mempunyai dampak terhadap tema-tema yang
dipakai untuk penulisan novel-novel, karena hubungan antara
kesastraan dan masyarakat biasanya dianggap cukup erat.

Perkembangan politik yang terpenting dalam hal ini adalah: timbulnya
Gerakan Tionghoa Modern di Indonesia. Gerakan Modern ini mempunyai
tujuan untuk memperbaiki adat-istiadat Tionghoa di Jawa yang dianggap
sudah kolot. Untuk dapat memperbaiki kasalahan-kesalahan mereka perlu
mempelajari ajaran-ajaran Konfusius. Untuk mempelajari ajaran-ajaran
Konfusius bahasa Tionghoa diperlukan, sehingga didirikan sekolah-
sekolah yang memberi pelajaran bahasa dan kebudayaan Tionghoa. Badan
sosial yang mendirikan sekolah-sekolah ini adalah Tiong Hoa Hwee Koan
(THHK), yang didirikan pada tahun 1900. Setelah didirikan, Tiong Hoa
Hwee Koan mengumumkan beberapa tradisi pernikahan dan penguburan yang
dianggap tidak lazim.

Gerakan ini menjadi masalah besar untuk pemerintah Hindia Belanda dan
untuk mengimbangi gerakan ini, pemerintah kemudian mendirikan sekolah-
sekolah khusus untuk anak-anak peranakan Tionghoa yang ingin mendapat
pendidikan Belanda, yaitu sekolah Hollandsch Chineesche School (HCS).
Putra-putri keturunan Tionghoa dapat memilih antara sekolah Belanda
yang berorientasi pada Indonesia atau sekolah Tionghoa yang berkiblat
pada Tiongkok. Hal ini menyebabkan perpecahan di dalam masyarakat
keturunan Tionghoa ini.

Perubahan lain yang cukup berdampak pada penulisan kesastraan Melayu
Tionghoa adalah surat-surat R.A. Kartini, yang di satu pihak menjadi
katalisator emansipasi wanita. Meskipun sebelum surat-surat
R.A.Kartini diterbitkan sudah ada perempuan-perempuan keturunan
Tionghoa yang masuk sekolah dan bahkan sudah menulis kepada
pemerintah Hindia Belanda agar diidzinkan untuk mengikuti ujian masuk
sekolah guru, jumlah perempuan yang berpendidikan masih sangat minim,
dan belum banyak diketahui mengenai mereka.

Usaha untuk memajukan kaum perempuan tidak seluruhnya disambut baik
oleh kaum lelaki. Hal Ini sangat jelas dari tulisan-tulisan yang
muncul pada sekitar 20-an, di mana banyak tulisan adalah mengenai
masalah ini. Bukan saja kemajuan di bidang pendidikan yang dapat
banyak kritik, modernisasi secara keseluruhan banyak ditantang oleh
kaum lelaki. Pakaian dengan rok pendek, pemotongan rambut gaya "bob",
yaitu pendek sampai batas telinga, semua ini ditantang keras. Apalagi
kalau gadis-gadis masuk sekolah Belanda dan ingin belajar dansa
dengan para sinyo-sinyo, main tenis atau mengemudi mobil.

Bahkan ada sebuah majalah yang isinya memuat beberapa tulisan
menantang modernisasi ini, namun di halaman muka ada foto-foto dengan
bintang film yang mengenakan baju renang, agar majalah mereka lebih
laku dijual.

Untung tidak semua tulisan mengecam para gadis yang "nakal". Para
penulis merupakan orang-orang terpelajar meskipun tidak menyandang
gelar sarjana. Mereka banyak membaca dan ingin juga membagi
pengetahuan mereka kepada para pembaca. Jadi tidak mengherankan kalau
tulisan mereka diselingi kutipan-kutipan dari para pengarang dan
filsuf dunia termasyhur, seperti Shakespeare, Voltaire, Goethe dll.

Pada tahap permulaan kesastraan Tionghoa Melayu ini masih berpusat
pada cerita-cerita sensasional seperti Cerita Fientje de Feniks,
seorang wanita Indo yang setelah putuskan hubungannya dengan seorang
Belanda, dibunuh atas suruhan orang tersebut. Cerita Oey See
mengenai seorang yang menjadi kaya karena menemukan uang kertas di
sebuah kampong, ketika melihat seorang anak main layang-layangan yang
terbuat dari uang kertas.

Periode sebelum pencetusan Perang Pacific merupakan periode keemasan
kesusastraan peranakan. Salmon berhasil menelusuri kira-kira 900
judul novel asli, yang ditulis oleh kuran lebih 250 pengarang,
diantaranya ada beberapa wanita.

Kritik terhadap keinginan para gadis untuk berlaku modern terus
berlangsung, namun mereka tidak menghiraukannya. Mereka tetap saja
mengenakan gaun pendek, memotong rambut dengan gaya bob. Yang
berpendidikan Belanda bahkan mengikuti kursus sekretaris dan bekerja
di perusahaan Belanda

Beberapa pengarang terkenal zaman ini adalah:

Kwee Tek Hoay yang pernah menulis lebih dari 200 buah karya,
diantaranya ada novel, drama, karya pendidikan, keagamaan dan
filsafat juga mengasuh beberapa majalah seperti Panorama, Moestika
Romans, dan Moestika Dharma.

Kwee tidak sepenuhnya menyetujui arus modernisasi wanita, tetapi ia
minta agar mereka memilih jalan tengah. Hal ini adalah sesuai dengan
ajaran Konfusius seperti diuraikan dalam Zhong Yong (Jalan Tengah)
Dramanya yang terkenal adalah Boenga Roos dari Tjikembang dan Drama
dari Boven Digoel, yang ditulisnya setelah pemberontakan Komunis pada
tahun 1927. Dalam novel ini, Kwee memuji usaha perempuan pribumi,
yang turut memperjuangkan Nasionalisme. Kwee pernah memrakarsai
organisasi pengarang perempuan. Anggotanya berasal dari Jakarta,
Sukabumi, Bogor, Bandung, beberapa kota di Jawa Tengah dan Timur dan
Sulawesi dan mereka menerbitkan sebuah majalah agar dapat
menghubungkan para anggota.

Sebagai seorang yang mendalami macam-macam agama, ia juga menyajikan
asas-asas agama itu kepada pembacanya seperti reinkarnasi dari agama
Buddha, mistik Theosofie yang di masa itu sangat populer berkat
kunjungan Khrisnamurti ke Indonesia.

Seorang pengarang lain yang juga sangat produktif adalah Nyoo Cheong
Seng, yang juga pernah menulis lebih dari 100 novel dengan namanya
sendiri dan dengan nama Monsieur d'Amour (M. d'Amour), beberapa
naskah sandiwara dan film, serta jumlah cerpen yang tidak terhitung,
karena tersebar di banyak majalah yang tidak semuanya dapat
ditelusuri. Nyoo adalah sutradara teater dan kemudian beralih ke
film. Istrinya Fifi Young adalah seorang bintang film yang sangat
terkenal. Nyoo pernah juga turut dengan rombongan sandiwara
Dardanella, di bawah pimpinan Dewi Dja, tetapi setiba di India dalam
perjalan ke Eropa, mereka kembali ke Indonesia karena ada urusan
keluarga. Cerita-cerita yang disajikan Nyoo beraneka ragam dan ia
sering menulis cerita-cerita daerah, yang dicatatnya pada saat ia
turut dengan rombongan dan dibawa pulang sebagai oleh-oleh kepada
pembacanya. Di antara cerita-cerita ini adalah Timoeriana (mengenai
Timor Timur) Balas Membalas (mengenai Aceh) Ida Ayu (mengenai Bali)
dan Tjinggalabi Aoeah (Papua). Nyoo juga terkenal sebagai pengarang
serie Gagaklodra, serie detective yang masih diingat orang banyak.

Tan Hong Boen atau Im Yang Tjoe juga banyak menulis tentang macam-
macam subyek, terutama mistik Jawa yang ditekuninya semasa dia masih
bekerja sebagai wartawan dan keliling Jawa naik sepeda. Ia membuat
cerita-cerita mengenai tuyul, gandaruwo, dll, tetapi ia juga menulis
cerita-cerita wayang seperti dipertunjukkan di pesisir utara pulau
Jawa. Tan menjadi kaya raya, bukan karena tulisannya, melainkan
karena pabrik obat yang menghasilkan Pil Kita.

Liem Khing Hoo menjadi terkenal sebagai penulis masalah sosial. Liem
menulis Berjoang, cerita mengenai beberapa orang peranakan Tionghoa
yang bertransmigrasi ke Kalimantan untuk mendirikan semacam negara
Utopia di sana. Merah adalah sebuah novel tentang pertentangan buruh
di sebuah pabrik rokok kretek dan majikan mereka, sedangkan
Masyarakat adalah novel mengenai pedagang kecil di masa depresi
ekonomi dunia 1929.

Serangkaian tulisan sejarah dalam bentuk roman diterbitkan oleh serie
Penghidoepan. Penulis-penulisnya, H.S.T. dan S.A.M. sebenarnya
adalah satu orang yaitu Tan Keng Sam, yang juga namakan diri Han Sioe
Tjiat. Ia menulis sejumlah tulisan mengenai kehidupan zaman
Majapahit.

Masih banyak tulisan lain mengenai sejarah Jawa dan yang patut dibut
adalah Koeda Poetih dari Ong Ping Lok. Cerita ini adalah mengenai
kudanya Sunan Mas (1703-1708) yang menceritakan putrinya Sunan yang
jatuh cinta dengan Tedjo, putranya seorang Kiai yang menentang Sunan
Mas. Ong menganggap cerita ini sebagai masterpiecenya.

Ketika pada tahun 30-an konfrontasi Tiongkok dan Jepang meningkat
dapat kita melihat sejumlah tulisan mengenai kesetiaan orang-orang
keturunan Tionghoa yang "pulang" ke Tiongkok. Ada yang pergi untuk
masuk tentara dan ada juga yang melanjutkan pendidikan. Bahkan ada
organisasi yang merkrutkan pemuda-pemuda keturunan Tionghoa ini agar
turun di medan perang. Usaha ini banyak ditentang oleh Kwee Tek Hoay
yang tidak melihat ada manfaatnya bagi masyarakat keturunan Tionghoa
di Indonesia. Beberapa cerita heroik ditulis oleh Tjie Tek Goan dan
bahkan ada sebuah tulisan dalam bahasa Sunda, yaitu Tjin Nio atawa
isteri sadjati di medan Perang Tiongkok-Japan oleh A.S.
Tanoewiredja.

Di antara sekian banyak pengarang pria, untung juga ada beberapa nama
wanita. Yang patut disebut adalah Nyonya Oen Hong Seng yang menulis
dengan nama samaran Dahlia. Dahlia membela kaum wanita dengan menulis
mengenai kelakuan baik mereka dan mengecam kaum lelaki yang
berpikiran sempit dan melihat tindakan kurang pantas di setiap
kelakuan wanita. Sayang Dahlia meninggal muda sehingga tulisan-
tulisannya tidak lagi muncul.

Pengarang kedua yang menulis sampai tahun 1970-an adalah Tjan Kwan
Nio. Yang menarik adalah bahwa penulis ini mula-mula banyak menulis
tentang masyarakat eropa di Perancis, Turki dll. Tetapi ia juga
banyak menulis tentang masyarakat Peranakan dan bahkan pernah menulis
tentang Raden Pandji Prajitna, seorang tokoh bangsawan dari kerajaan
Pajajaran.

Setelah Perang Pacific masa produktif pengarang keturunan Tionghoa
telah lewat. Apa alasannya tidak diketahui. Beberapa surat kabar
seperti Sin Po dan Keng Po masih teruskan usahanya tetapi pada awal
enam puluhan juga diberhentikan.

Kini hanya sedikit pengarang keturunan Tionghoa yang masih aktif
menulis. Tulisan mereka sebenarnya tidak masuk kategori ini, karena
mereka menulis dalam bahasa Indonesia dan tidak lagi memakai bahasa
Melayu Tionghoa.

Alm. Kho Ping Hoo terkenal dengan cerita-cerita silatnya. Kho sangat
produktif dan daftar karyanya mencapai hampir dua ratus judul, di
antaranya ada beberapa cerita bukan silat. Yang unik dari Kho ialah
bahwa ia tidak menterjemahkan dan juga tidak menyadur cerita silat
dari bahasa Tionghoa tetapi membuat karya ciptaan sendiri dengan
setting di Tiongkok dan Indonesia zaman dahulu. Marga T. dan Mira W.
adalah dua pengarang wanita yang sangat produktif dan karya-karya
mereka sangat dinikmati oleh pembaca-pembaca seluruh Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...