Sejak bertunangan, Amel dan Rizky memutuskan untuk membiasakan pulang bersama. Kebetulan jarak kantor mereka tak terlalu jauh. Selain itu, dengan pulang bersama, mereka lebih mudah membicarakan dan mengurus pesta pernikahan.
Namun, rencana itu ternyata tak berjalan mulus. Rizky yang bekerja di sebuah bank, jam kerjanya sudah pasti, dari pukul 07.30 - 17.00. Itu artinya, dia bisa keluar kantor tepat waktu. Sementara Amel, yang bekerja sebagai account executive, jam kerjanya lebih tidak teratur. Meski masuknya lebih mundur satu jam dari Rizky, jam pulangnya tidak pasti. Kadang bisa pulang sesuai waktu, tetapi lebih sering pulang malam.
Ketika mereka belum membuat komitmen, jam kerja yang berbeda itu tidak menjadi masalah. Namun, ketika rencana pernikahan di depan mata, Rizky mulai mempermasalahkannya. Rizky pun mulai berpikir jika menikah dan punya anak nanti, jangan-jangan dialah yang akan banyak menghabiskan waktu menemani anak-anak, membantu mereka membuat PR atau membacakan cerita. Plus, seabrek urusan rumah akan menjadi tanggungjawabnya. Sementara sang istri malah sibuk di luar rumah.
Perlu persiapan mental
Perbedaan ritme kerja Anda dan pasangan bukannya tanpa konsekuensi. Saat masih berpacaran, perbedaan ritme kerja mungkin tidak menjadi masalah. Toh, Anda dan dia tidak bertemu setiap hari. Ketidaknyamanan biasanya akan terasa ketika menikah dan makin terasa saat pernikahan menginjak tahun ketiga atau keempat. Lalu mengapa permasalahan ritme kerja ini baru muncul kemudian?
Hal ini disebabkan pasangan mulai jenuh dengan sikap toleransi yang ia berikan. Selain itu, pasangan yang ritme kerja lebih teratur kurang mempersiapkan mental dengan ritme kerja pasangannya yang tidak teratur. Memang kebanyakan orang menganggap remeh masalah ini di awal hubungan. Padahal, sudah seharusnya ia menyadari perbedaan ini sehingga bisa menyiasatinya dan tidak menjadikan masalah di kemudian hari.
Lalu, apa yang harus dilakukan? Tanamkan pada pasangan yang bermasalah bahwa ritme kerja hanya bagian kecil saja dalam rangkaian sebuah pekerjaan. Intinya, tetap menikmati pekerjaan itu dan menghasilkan sesuatu. Selain itu, seringlah bercerita tentang pekerjaan Anda agar pasangan mengetahui bidang pekerjaan yang Anda geluti. Jika terpaksa pulang malam karena ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan, sebaiknya komunikasikan dengan pasangan. Dengan begitu pasangan aakn tidak merasa terabaikan dan berpikir bahwa keberadaannya masih tetap dihormati.
Jangan sampai mengganggu
Terkadang masalah ini tak hanya dapat mengganggu keharmonisan hubungan, tapi juga ritme kerja itu sendiri. Namun, hal ini akan terjadi jika tidak ada komunikasi yang baik di antara Anda dan pasangan. Sekecil apa pun urusan kantor bila sudah mengganggu keharmonisan hubungan, harus segera dicari jalan keluarnya. Jika tidak, konsentrasi kerja Anda pun ikut terganggu. Apalagi jika si dia sampai menginginkan Anda mengikuti kemauannya, hanya karena dipicu perbedaan waktu kerja itu. Artinya, Anda harus berhenti bekerja atau beralih profesi. Pasangan pria yang tidak siap sejak awal, begitu melihat kesenjangan yang menurutnya membahayakan kewibawaannya sebagai kepala rumah tangga kelak, tentu akan mempersoalkan ini. Jika sudah begitu, pokok permasalahan bukan lagi pada ritme kerja, tapi bisa melebar kepada ketidakikhlasan si pasangan dengan kesibukan Anda. Apa pun yang menjadi biang keladi, komunikasi dan kejujuran adalah jalan keluar terbaik.
Buat Aturan Main
Jika memang masalahnya ritme kerja yang tidak seimbang, itu artinya masih bisa diperbaiki. Anda dan pasangan hanya perlu membuat aturan main atau kesepakatan bersama seandainya Anda harus pulang hingga larut malam, dalam kondisi apa saja. Selain itu, komunikasikan juga pada keluarga pasangan tentang kondisi pekerjaan Anda yang memang berbeda. Dengan begitu, mereka ikut paham dan tidak membuat urusan ritme kerja yang berbeda ini makin rumit.
Dan, jika Anda sedang memiliki waktu luang atau tidak sedang sibuk, berilah perhatian lebih pada pasangan. Jangan sampai ia merasa "kehilangan" Anda karena kesibukan kerja Anda. Gunakan waktu sebaik-baiknya. Meski hanya 5-10 menit, Anda tetap bisa saling melontarkan lelucon yang bisa membuat Anda berdua tertawa. Terpenting, Anda dan pasangan merasa nyaman dan senang saat menghabiskan waktu bersama. Jika Anda dan dia bersedia meluangkan waktu bersama secara berkualitas, dengan sendirinya kemesraan pun akan terjaga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar