Minggu, 03 Oktober 2010
Cintaku Ini Adalah Luka
Hari ini hitam, seperti malam. Pekat tak mau beranjak cahaya. Tubuh siapa bulan itu, yang wajahnya selalu kuingin: segalanya cukup, tak terang seperti terik matahari. Suara siapa sepi itu, yang damainya selalu kuharap: tak ada resah. Cinta siapa yang tak membuat luka? Aku tak tahu sebab semua cinta adalah luka.
Di ujung malam aku diam sebab hening itu yang kuingin. Segalanya lebih baik bisu. Biarlah kata disimpan bibir rapat. Aku tak butuh huruf-huruf yang kupahami sebagai perih. “Hei, kenapa kau lanjutkan kisah asmaramu jika pengkhianatan cinta dan sakit hati yang kau dapatkan?
Bukankah perjalanan cintamu yang dulu-dulu adalah sapaan Tuhan agar engkau berkaca? Kenapa tak kau pakai cermin itu? Atau engkau telah buta oleh cinta pada perempuan yang kini akhirnya menyakiti perasaanmu dan mengkhianati janjimu?” Tidak ada jawaban sebab aku tak menginginkannya.
Bayangan dia kembali muncul di antara gelap. Ia tersenyum kepadaku. Wajahnya yang indah dan manis. “Oh, Vy! Tak kuasa aku menahan sakit yang begitu perih dan bahkan mencabik-cabik hati ini hingga lebur. Tutup, senyumanmu palsumu itu! Tutuplah mulutmu itu.
Jangan pergunakan serpihan kata-kata bahkan kalimat untuk sekadar bercakap-cakap denganku. Biarlah, biarlah kucoba pahami engkau melalui kisah cinta kita yang ternyata engkau khianati. Aku sanggup. Aku mampu mengerti segalanya hanya dengan diam.
Simpan saja sisa katamu dan kalimatmu itu untuk berdoa agar janji palsumu itu dibersihkan. Selebihnya, doakan aku agar tidak menjalani hidup seperti yang dulu kita jalani dan alami. Itu pun jika sempat. Tidak juga tak apa, sebab aku punya cukup bukti dari jejak cintamu yang penuh luka bahwa hidupmu tak bahagia denganku.”
Aku menangis. Air mata ini seperti gerimis yang tak serius. Jatuhnya tak kunjung sering, tak kunjung deras. Kupahami itu sebagai kelelahan. Dan mungkin hanya sebanyak itulah air mata yang tersisa sebab hidupku selalu menuntut tangis, terkuras yang disebabkan akan cinta dan janji yang palsu dari setiap wanita.
“Maafkan aku, Van! Bahkan hingga kini, hidupku yang beranjak menuju ujung pun tak pernah berhasil ku hapus air matamu. Aku belum mampu, bukan tak mau melakukannya. Hentikan tangismu itu, Van! Cukup! Aku tak mau melihatmu terluka untuk yang kesekian kalinya. Aku sudah mengerti, sudah paham. Tumpahkan saja segala lukamu itu padaku. aku terima dan aku rela!”
Aku ingat. Hubunganku dengannya, air mata itu sempat jatuh di kuburan Ibuku. Di sana dia berucap,” Van, kakak dan adikmu adalah masa depan yang Ibumu inginkan. Tak bijak rasanya jika kamu harus menyimpan harapan pada masa lalu.
Engkaulah masa saat ini yang bisa Ibumu titipkan harapan itu untuk masa yang akan datang. Belajarlah dari masa lalu, niscaya akan kau dapati gambar ibumu, kakakmu, dan adikmu.
Tataplah semua gambar itu meski semuanya sedang menangis sebab kesedihan adalah pelajaran, bukan nista atau cela.
Engkau laki-laki, arungi semua laut dengan bidukmu. Jangan katakan itu tak mungkin sebab keberhasilan masa depanmu adalah apa yang kau yakini hari ini.
Semakin engkau yakin, semakin engkau mempunyai kekuatan untuk meraihnya. Dan hentikan segalanya jika engkau merasa ragu. Jangan memaksakan diri. Jangan takut dikatakan kalah sebelum berperang sebab bertempur tanpa strategi adalah kekonyolan.
Hidupmu adalah hidupmu. Itulah prinsip. Jangan terburu-buru, mulailah dari yang teramat kecil dan dekat sebab hidup adalah proses.” Sampai di sini kata-katanya digulung air mata, dan tak berhenti hingga untaian doa-doa selesai digumamkan.
AKU menangkap isyarat pertalian dari dua peristiwa: masa lalu dan masa yang tengah ku hadapi saat ini, ketika wajah dia dan Ibuku hadir di ujung malam. Tangisku, Ibuku, dan dia malam ini adalah luka jika harapan-harapan yang pernah dititipkannya di sebuah kubur tahun lalu, diartikan sebagai beban.
Dari kedip mata Ibuku, aku ingin mengatakan bahwa harapan-harapan orang tua atas anaknya di kemudian hari adalah beban yang dititipkan untuk dipikul sang anak. Si anak kehilangan kebebasan gerak sebagaimana hidup layak.
Sedikit-sedikit kaki si anak bergetar menahan beban. Atau langkahnya terhenti untuk menyeimbangkan beban dengan kekuatan tubuhnya. Jika suatu saat si anak tak kuat menahan beban itu, hanya ada dua kemungkinan yang akan dilakukannya.
Pertama, ia akan mempercepat langkah supaya lekas sampai ke tempat yang dituju agar beban bisa ditanggalkan. Demi mencapai itu, si anak mengabaikan semua keinginan dan kepentingan dirinya demi bakti seorang anak pada orang tua.
Kedua, ia akan menanggalkan semua bebannya tanpa memikirkan siapa yang membebaninya dengan harapan sebab baginya hanya ada satu masalah, yaitu tubuhnya sudah tak kuat menahan beban.
“Karena itu, saat ini aku menangis!” tiba-tiba hati ini berkata. Tak bisa lagi aku mencegahnya untuk berkata-kata, meskipun sebetulnya aku tetap ingin ia menggunakan sisa tenagaku untuk mengingat Tuhan. Sebab aku yakin, tak ada yang lebih penting bagi seseorang yang dikerubungi masalah selain Tuhan.
“Aku merasa itu semua adalah kesalahan. Aku yakin, sekecil apapun harapan kamu adalah beban bagi dirimu. Untuk itu aku datang malam ini. Untuk meminta maaf kepadamu karena dulu telah banyak menyimpan harapan…” suara dia berhenti. Hanya bibirnya yang terlihat bergerak seolah mengucapkan sesuatu, tetapi tak sedikitpun suara ku dengar.
“Waktumu telah habis, Vy!” pikirku. Kembali aku harus memahaminya lewat isyarat. Itu lebih baik dari sekadar kata-kata. Apalagi jika kata-kata itu membuat luka.
Aku memahami segala tentang dia. juga tentang cintanya yang membuatku terluka. Tak hanya riwayat tentang penolakan cintaku untuknya, yang saat itu aku dan dia sebagai kekasih, tetapi juga tentang pengkhianatan cinta seorang kekasih.
Namun demikian, hidupku dan hidupnya tetap berjalan. Seperti hari yang hingga saat ini tak pernah berhenti, berkurang, atau melebih. Hanya jejaknya masih dapat jelas tergambar, paling tidak dalam ingatanku.
Tak mungkin aku melupakannya. Pertengkaran demi pertengkaran yang kerap terjadi, masih mampu ku ingat dengan jelas. Bahkan terasa baru kemarin itu semua terjadi. Semua adegan yang terjadi dan kata-kata yang diucapkan, tak pernah bisa ku hapus, meski luka baru bermunculan. Hingga hari ini aku berkesimpulan bahwa semua masa laluku adalah luka.
Aku harus mengatakan bangga memiliki seorang kekasih sepertinya. Meski cintaku terluka, demi masa depannya, aku mampu bertahan. Ia mampu menafikan segala luka cintaku, meski pada akhirnya akan membuat luka baru untukku dan hatiku serta perasaanku ini.
Bagaimana aku tidak luka jika waktu itu aku mengetahui dia menjalin hubungan lain dengan pria lain ? Bagaimana aku tidak luka jika jalinan cintanya telah menjadi luka bagiku ? Benarkah demi cinta dia kepadaku membuat dia menafikan luka yang diakibatkan cintaku dan dia?
Cinta apa yang diberikan kepadaku jika perpisahan yang menjadi kenyataan? Benarkah itu semua dinamakan cinta? Cinta yang luka.
Ada garis-garis putih samapta langit, seperti kilatan siang yang sengaja diciptakan Dayang Sumbi untuk mengelabui ayam supaya berkokok tanda pagi segera tiba. Wajah dia semakin jelas dan nyata. Tak ada tanda-tanda keberadaan darah di sekitarku. Ini ujung dari segala penghabisan waktu, dan aku harus memanfaatkannya untuk mengingat kembali silsilah luka cinta seorang wanita seperti dia.
“Wahai engkau wanita, cinta yang luka yang kau berikan padaku, menoreh luka abadi di ingatanku. Aku melihat sendiri dirimu menjalin hubungan dengan pria lain. Mungkin luka ini tidak akan seberapa hebat merasuk, jika kamu belum merasakannya. Tapi ini kenyataan, kau yang telah menyakitiku dan mengkhianatiku. Vy, aku sangat merasakan luka cintamu itu karena aku juga laki-laki yang terkhianati akan janji.
Aku juga jadi ragu, cinta apa yang diberikanmu untukku jika cinta dengan akhirnya menjadi sebuah luka. Haruskah kukatakan bahwa cinta yang diberikan padamu untukku adalah cinta yang luka?”
Tak ada suara, juga air mata. Aku seolah telah menjadi padang tandus tak berpenghuni, kerontang dan sunyi. Hanya kepasrahan yang kerap diamini gelisah karena tak kuasa memastikan waktu akan cinta sejati tiba. Segalanya condong ke masa lalu sebab ingatan tentang catatan cinta berderet lebih panjang daripada prestasi belajar.
Angin laut sudah kembali menghempas daratan, mengantarkan sampan nelayan untuk pulang. Alam sudah menciptakan tanda-tanda dan isyarat bahwa hari sudah beranjak siang. Aku tak berniat membayangkan wajah nelayan yang masih berada jauh di tengah laut sebab diri yang dekat saja masih dalam ancaman yang tak mampu diduga.
Banyak atau sedikit ikan yang didapat oleh mereka, itulah nasib. Hidup hanya mencipta dua pilihan, tersakiti atau menyakiti.
Tak ada pilihan ketiga. Tapi masa depan diri di hadapan Tuhan, tak bisa dilimpahkan begitu saja pada nasib dan takdir sebab hidup menuntut pertanggungjawaban. Hanya ada diri sendiri yang melakukan di hadapan Tuhan menitipkan segalanya.
“Wahai engkau wanita palsuku, izinkan aku mengatakan bahwa cinta itu hanya luka. Cinta yang kamu berikan untukku juga luka, terlebih setelah hidup jiwaku berkiblat kepadamu. Aku semakin merasakan luka cintamu, bukan karena aku laki-laki setia, tapi aku mengalami semua apa yang telah kau berikan padaku, sakit dan pengkhianatan,” aku berhenti sejenak. Nafas terasa sesak. Itulah kejamnya luka. Jangankan mengalami kembali, mengingatnya pun sungguh menyakitkan.
“Cintaku tak diizinkan oleh orang tua perempuan yang akan kujadikan pasanganku. Tapi aku tetap bertahan sebab saat itu masih percaya, cinta adalah pohon yang kelak akan berbuah kebahagiaan, manis dan lezat. Kenyataannya, dia sama-sama pengkhianat!
Cintanya tidak berbuah bahagia bagiku, tapi membelah diri menjadi cinta-cinta berikutnya yang diperuntukkan pada laki-laki lain. Pasanganku adalah wanita yang sama-sama mengubah cinta menjadi luka abadi.
Aku sendiri tak percaya karma. Karenanya, tidak mengartikan kesamaan nasib cinta kita sebagai sebuah karma. Namun yang menjadi permasalahan adalah apa yang harus ku lakukan sebagai seorang pria, jika kelak mempunyai anak. Aku tidak ingin mewariskan cinta yang demikian pada anak-anakku.
Cukup, akulah yang terakhir merasakannya. Aku tidak ingin melakukan pertengkaran di depan mata anak-anak seperti yang kau lakukan dulu terhadapnya. Aku tidak ingin menjadi pelari yang mengestafetkan luka.”
Bayangan wajah dia tampak pudar oleh cahaya. “Wahai engkau pencari cinta sejati, mari kita sama-sama mengatakan bahwa cinta itu luka, tapi jangan sampai terdengar orang lain sebab aku tak ingin mereka percaya pada apa yang kita ucapkan itu. Kisah cinta kita, kitalah yang merasakannya. Dan masing-masing dari mereka punya hak untuk menyimpulkan arti cinta dari apa yang dialami dan dirasakannya sendiri.”
Cinta itu luka. Kalimat itu ku ucapkan dengan khidmat dalam hati. Aku percaya, dia pun melakukan hal yang sama, meski aku tak mendengarnya. Bayangan wajahnya menghilang seiring perjalanan terang.
Aku tetap tak beranjak. Memang, sejak hari itu, hari perpisahanku dengan dirinya, di sanalah tempat dudukku menunggu kedatangannya. Di sanalah ku kubur cintaku, dibawah pohon di tepi laut. Ya, itu bukan tempat pemakaman umum sebab hanya akulah yang dikubur disana. Sendiri.”
Beberapa hari yang lalu, orang-orang pinggir laut menemukan hatiku telah menjadi mayat. Tergeletak di atas pasir dengan kondisi telah membusuk. Aku memang bukan orang kampung itu. Sangat wajar jika mereka tak mengenaliku. Apalagi dengan kondisi hati yang sudah tak berbentuk. Ditanamlah hatiku di sana, di bawah pohon di tepi laut.
Aku memang membunuh hati dan cinta ini dengan cara menceburkan diri ke laut. Aku bunuh hati dan cinta setelah tak percaya lagi cinta. Setelah cinta ku definisikan sebagai luka. Cinta itu luka.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar