Memandang dari ujung rambut hingga ujung kaki pada sesosok perempuan tua renta yang berbalut kebaya membuat keharuan ini mulai menyeruak. Tetes-tetes bening mulai berkumpul di pelupuk mata, melihatnya dengan tertatih-tatih menuang adonan serabi ke dalam mangkuk cetakan dari tanah liat.
Lagi, untuk kedua kalinya aku mengunjunginya. Masih saja sama, sendiri, mata yang sayu, dan terbatuk-batuk melawan udara dingin. Kemana saudaranya yang dilahirkan dari rahim yang sama? Kemana anak-anaknya yang dikandungnya berbulan-bulan?
Kemana sahabat-sahabatnya yang kadang selalu bicara tentang kebersamaan? Tapi itulah kenyataan. Dia sendiri. Dan dia menyadari. Di tengah gemerlapnya kota, dia duduk di pojok emperan toko setiap malamnya.
Berjualan serabi hingga larut menjadi-jadi. Melihatnya membuatku berpikir bahwa manusia memang tercipta untuk sendiri. Kehidupan yang silih berganti menciptakan sebuah dinamika. Pertemanan, persahabatan, dan keluarga sejati apapun mereka tak akan selamanya menemani kita.
Boleh jadi mereka adalah tempat berbagi kita sekarang ini, bergantung, dan bercita-cita. Tapi ketika kita meninggal, kita hanya sendiri. Tanpa teman, saudara, sahabat, suami atau istri mereka hanyalah pendamping didunia. Tapi entah, nyatanya kehidupan memang lebih menguasai nurani.
Kadang kita lebih malu dikatakan banci, tidak gaul, tidak menarik, tidak tampan, tidak cantik, tidak sukses, hingga kita sering menuruti kemauan orang yang kita kasihi, sahabat, teman, dan keluarga. Hanya karena kita tak ingin disebut tidak solid, atau apalah sebutannya
Kita menjadi gila dunia. Yah, begitulah memang manusia pada dasarnya. Sering kita melihat semuanya pada sesuatu yang real, yang nyata. Sehingga timbul suatu paham rasionalisme, atheism yang tak mengakui adanya Tuhan. Karena mereka menganggap segala sesuatu yang ada di bumi ini bersumber pada materi.
Apa yang mereka lihat dan mereka alami. Dan paham-paham yang mereka utarakan juga tak lepas dari lingkungan, kebiasaan, dan kebudayaan. Bagi rakyat Palestina, berjihad melawan Israel mungkin sudah menjadi hal yang biasa, bahkan mungkin sudah menjadi tradisi. Tapi bagi kita rakyat Indonesia, yang selalu menyanyikan Indonesia damai sentosa. Mengangkat senjata tentunya menjadi hal yang luar biasa, bahkan mungkin kita lebih memilih bersembunyi di lumbung padi ketika koloni datang menghampiri.
Bagi orang-orang kaya adalah hal biasa jalan-jalan berkeliling kota dengan mobil mewahnya. Namun, bagi rakyat jelata, bermimpi seperti itu pun mereka enggan. Tak ingin menjadi pungguk katanya. Begitupula dalam kehidupan. Bersyukurlah seseorang yang lahir dalam lingkungan keluarga baik-baik dan taat beragama.
Ibarat sebuah botol terisi penuh oleh susu adalah simbol kesempurnaan agamanya, dia telah memiliki setengah botol yang diisi oleh keluarganya. Berbeda dengan seseorang yang lahir dalam keluarga penjahat, broken home, dan mengesampingkan ajaran agama. Tentu membutuhkan tekad dan keberanian yang besar untuk mengubah kebiasaan yang telah ditanamkan orang tua kepada anak-anaknya.
Alih-alih mengisi botol dengan susu, mereka malah mengisinya dengan anggur yang memabukkan. Benar-benar memerlukan keberanian untuk membuang anggur dan sedikit demi sedikit mengisi kembali botol dengan susu murni.
Walau kadang semua itu tak mutlak. Banyak orang yang telah mempunyai setengah botol susu tetapi mereka malah mencampurnya dengan nila yang mereka buat sendiri. Dan tak jarang juga seseorang yang berasal dari keluarga berantakan malah bisa menjadi buah bibir dikalangan masyarakat.
Semua itu kembali kepada diri kita sendiri dan proses mendewasakan diri. Ketika kita mulai beranjak dewasa, tentu kita akan mengalaminya. Mencari cari sebuah kebenaran, kepastian, siapakah kita sebenarnya. Tak jarang kita melakukan kesalahan tapi itulah proses pendewasaan.
Namun kita tak bisa mengelak, kunci dari segala kunci adalah Yang Maha Kuasa. Mengembalikan semua kepadaNya, karena Dialah kebenaran yang sejati. Bukan tradisi keluarga, bukan tradisi desa, dan bukan pula tradisi negara. Karena itu semua adalah buatan manusia.
Bukan berarti kita menjadi mengabaikan peraturan-peraturan yang telah ada. Tetapi seharusnya kita lebih selektif menjalaninya. Karena sekarang ini, susah membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Dengan berembel-embel demokrasi kadang kebenaran bukan lagi dinilai dari hati nurani, tetapi dari suara terbanyak dan kesepakatan. Kesepakatan membagi rata uang negara yang tersisa, kesepakatan memanipulasi data, kesepakatan antar aparat-aparat negara, dan entah kesepakatan lainnya.
Kembali pada sebait cerita di awal catatan ini. Mengingat nantinya kita akan sendiri, itulah kenapa sebaiknya kita mencari jati diri dan menyandarkannya pada kebenaran hakiki. Bukan pada kebenaran menurut orang tua, keluarga, ataupun masyarakat sekeliling kita.
Sekali lagi ini bukan berarti kita seharusnya tidak mendengarkan nasehat dan peraturan mereka. Tetapi seharusnya kita “selektif” mengikutinya. Ambil saja contohnya, ketika orang tua melarang anaknya keluar malam-malam. Jika kita berpikir logika hal itu sangat berbahaya bagi keselamatan, Kakek saya sering menasehatkan hal ini kepada saya. Beliau mengatakan bahwa jam 6 sore adalah batas seorang wanita keluar dari rumah. Awalnya saya pikir kakek saya kolot, tidak modern, ketinggalan jaman, dan sebagainya. Bahkan kadang saya memutar otak untuk bisa keluar malam jika kakek saya ada. Namun, sering saya berpikir dan membenarkan kata-kata kakek saya.
Tapi masih saja terlalu susah menjalaninya, mengingat banyak acara baik kampus maupun pribadi terjadwal. Rasanya susah menolak ajakan seorang teman untuk datang ke pesta ulang tahunnya, karena takut dibilang kampungan jika mengetahui alasan yang sebenarnya. Yah, begitulah hidup. Selalu saja menyajikan berbagai pilihan. Dan selalu saja kita dituntut untuk memilih dengan penuh kegalauan dan dilema.
Tetapi apapun pilihan kita sebaiknya kita mengembalikan pada Yang Maha Kuasa, karena dialah Sang Pencipta. Sutradara dari panggung sandiwara kehidupan dunia ini. dialah yang menciptakan aturan, dan berhak memberikan ganjaran. Akan lebih indah jika kita mengikuti aturannya. Mengikuti apa yang Dia kehendaki. Mari mencari jati diri. Mengembalikan semua pada yang hakiki. Tak memandang dari latar belakang, dari kasta atau suku apa kita berasal.
Pepatah berkata, kebenaran dan hati nurani terletak pada pikiran pertama, tetapi kebijaksanaan terletak pada pikiran serta keputusan terakhir. Di antara itulah setan masuk di alam pikiran kita. Tergantung bagaimana kita menyikapinya. Marilah saling mengingatkan dan saling mendoakan, semoga kita semua bisa menjadi yang terbaik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar